Patahkan Keraguan soal Kinerja, DPR Diminta Tak Sekadar Mengekor Eksekutif

Patahkan Keraguan soal Kinerja, DPR Diminta Tak Sekadar Mengekor Eksekutif

Wajah DPR periode 2024-2029 yang didominasi petahana, kalangan pengusaha hingga relasi kekerabatan, memunculkan keraguan bahwa kinerja mereka akan lebih baik daripada DPR periode sebelumnya. Keraguan mesti dijawab anggota DPR dengan optimal menjalankan fungsinya, bukan lantas menjadi pengekor eksekutif.

Peneliti Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Bangkit Wiryawan, menjelaskan, dominasi petahana, dinasti politik, hingga pengusaha di DPR 2024-2029 berpotensi mengancam tersalurkannya aspirasi masyarakat. Produk legislasi yang dihasilkannya pun dikhawatirkan bukan untuk kepentingan rakyat.

”Jadi, situasi saat ini dengan kuatnya dukungan DPR terhadap pemerintah, politik dinasti yang makin kuat, apalagi kalau kita ngomongin pengusaha, artinya mereka punya mindset-nya adalah bisnis. Ketika mindset-nya bisnis, jangan-jangan ketika mereka menyusun, membahas peraturan yang ada dalam pikiran atau dalam lakukan fungsi pengawasan, maka logika bisnis yang berlaku ini. Kita gak mau hal-hal seperti ini terjadi,” ujar Bangkit dalam diskusi bertajuk ”Parlemen Baru, Harapan Baru” yang digelar secara daring, Minggu (13/10/2024).

Berdasarkan catatan Kompas, lebih dari separuh anggota DPR periode 2024-2029 adalah petahana. Tak hanya itu, sebanyak 220 orang dari 580 anggota DPR 2024-2029 juga terindikasi memiliki ikatan kekerabatan dengan pejabat publik atau tokoh politik nasional lainnya.

Sementara itu, dari hasil pemantauan dari Indonesia Corruption Watch (ICW), ditemukan sebanyak 354 dari 580 anggota DPR 2024-2029 atau sekitar 60 persen terafiliasi dengan bisnis.

Dengan wajah DPR selama lima tahun ke depan tersebut, Bangkit pesimistis kinerja mereka bakal lebih baik dibandingkan DPR periode sebelumnya. Ia pun mengaku sulit untuk memberikan harapan tinggi bagi kinerja para anggota DPR.

Berkaca pada kinerja legislasi DPR periode 2019-2024, hanya sekitar 9,3 persen yang selesai dari 264 RUU yang masuk dalam Program Legislasi Nasional. Capaian legislasi ini lebih rendah dibandingkan DPR pada periode 2014-2019 (17 persen) ataupun 2009-2014 (26,7 persen).

”Padahal, seharusnya dengan semakin dominannya koalisi pendukung pemerintah di parlemen, seharusnya kinerja persidangan mereka bisa lebih lancar, lebih baik. Tapi ternyata enggak,” ujar Bangkit. Di periode lalu, delapan dari sembilan parpol di DPR menjadi bagian dari gerbong parpol pendukung pemerintahan.

Tak hanya dalam menjalankan fungsi legislasi, dari fungsi pengawasan juga menunjukkan hal yang tak sesuai ekspektasi publik. Pemerintah hanya menindaklanjuti 37 dari 100 rekomendasi yang dikeluarkan DPR, sisanya diabaikan oleh pemerintah.

”DPR ini posisinya lemah karena mereka melakukan pengawasan tapi kemudian tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah. Ini perlu dipertanyakan, fungsi pengawasan mereka, itu efektivitasnya seperti apa? Dari 50 panitia kerja pengawasan yang dibentuk pada 2023, lebih dari setengahnya itu juga belum menyelesaikan tugasnya,” katanya.

Bangkit juga menyoroti anggaran DPR yang tiap tahun meningkat tetapi ternyata tak membuat kinerja anggota DPR menjadi lebih baik. Pada 2021, DPR mengelola anggaran sebesar Rp. 5,41 triliun, lalu naik pada 2022 sebesar Rp 5,60 triliun. Bahkan, alokasi anggaran DPR tahun 2025 mencapai Rp 9,25 triliun.

”Bahwa anggaran DPR itu tiap tahun, tiap periode selalu bertambah, hanya kinerja mereka itu yang tidak bertambah,” katanya.

Sementara itu, pakar hukum tata negara STHI Jentera Bivitri Susanti menyoroti para anggota DPR yang baru terpilih pertama kali. Menurut dia, sangat mungkin mereka masih minim kapasitas politik, minim relasi politik dengan warga, hingga minim perspektif pada pemihakan kelompok marjinal. Dengan melihat hal tersebut plus wajah umum dari DPR 2024-2029, wajar jika publik meragukan kinerja anggota DPR ke depan. Keraguan ini agar anggota DPR bisa membuktikan dan menjawab keraguan tersebut.

”Seandainya anggota DPR ada yang mendengar ini silakan buktikan. Keraguan ini dibuktikan dengan DPR menjalankan fungsinya. Bukan sekadar pengekor lembaga eksekutif tapi pengawasan bagi lembaga eksekutif,” kata Bivitri.

Meski terbersit keraguan, Direktur Pusat Media dan Demokrasi LP3ES Wijayanto mengatakan, harapan tetap perlu ditumpukan pada para anggota DPR. Hal ini karena DPR yang bisa menahan laju kemunduran demokrasi yang dinilainya sudah terjadi terutama sejak lima tahun terakhir.

”Sebenarnya peran DPR saat Indonesia mengalami kemunduran demokrasi bisa dilihat dari rendahnya kritisisme atas rancangan undang-undang, rendahnya konsultasi publik, rendahnya deliberasi serta rendahnya pengawasan terhadap kebijakan pemerintah termasuk penggunaan anggaran,” kata Wijayanto.

Dipublish oleh : Kompas.id