Pada tanggal 16 Agustus 2023 pukul 15.35 sd. 17.40 WIB, telah berlangsung Serial diskusi “INDONESIA REBORN” bertajuk Sketsa Masa Depan Indonesia Pasca Pemilu 2024 secara hybrid di Kantor LP3ES Jln. Pangkalan Jati 71 Cinere. Selain sebagai penghormatan atas peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia ke 78, juga sebagai bagian dari rangkaian selebrasi HUT ke 52 lembaga ini berbakti kepada nusa dan bangsa. Narasumber utama dalam diskusi ini yaitu Fachri Ali, Didik J Rachbini dan Bivitri Susanti. Selengkapnya acara ini bisa diikuti di kanal youtube LP3ESTV https://www.youtube.com/watch?v=n7Fr2nG7ZAM&t=75
Diskusi dipandu oleh Wijayanto, salah satu elit LP3ES yang juga Pakar Ilmu Pemerintahan.
Dalam pengantarnya, Direktur Eksekutif LP3ES Fahmi Wibawa menyebut bahwa kegiatan seperti ini akan digelar terus menerus secara terjadwal sampai dengan 14 Februari 2024 (countdown), sebagai bentuk kepedulian masyarakat sipil atas sepinya diskusi publik mengapa Pemilu 2024 penting buat bangsa ini. Lebih lanjut Fahmi menyampaikan keprihatinannya atas sesaknya pemberitaan media dengan “pertunjukan sirkus” tokoh partai politik menggadang-gadang jago Capres Cawapres-nya, tanpa sedikitpun penyinggung kontribusi yang akan mereka lakukan untuk mengatasi berbagai permasalahan bangsa ke depan. Oleh karenanya, lanjut Fahmi, LP3ES akan mendiskusikan isu-isu strategis countdown 14 Februari 2024 terutama untuk tema-tema seperti Masa Depan Papua dan Kawasan Timur Indonesia Pasca Pemilu 2024, Masa Depan IKN dan PSN Pasca Pemilu 2024, Ekonomi Politik Luar Negeri Indonesia Pasca Pemilu 2024, Lingkungan dan Tata Kelola Pertambangan Pasca Pemilu 2024, Tata Kelola Energi Pasca Pemilu 2024, Ruang Digital dan Kebebasan Sipil Pasca Pemilu 2024, Demokrasi Lokal dan Oligarki Politik Pasca Pemilu 2024, Pemerintahan Desa dan Pembangunan Kesejahteraan Pasca Pemilu 2024, Ekonomi Industri dan Kesejahteraan Buruh Pasca Pemilu 2024, Partai Politik dan Relawan Politik Pasca Pemilu 2024 dan Masa Depan Ideologi dan Etika Berbangsa Pasca Pemilu 2024.
Dalam penjelasannya, secara ekonomi, Didik Rachbini menyoroti tingginya ketimpangan ekonomi yang bisa menjadi faktor distabilitas dalam berdemokrasi. Kapasitas ekonomi yang besar, dengan pertumbuhan investasi yang terus menjulang, tidak akan memberikan efek kesejahteraan rakyat karena dana APBN banyak digelontorkan dalam bentuk aneka subsidi. Memang secara politik banyaknya subsidi yang diberikan kepada rakyat akan membuat siapapun presidennya populis. Namun ke depan, Didik mengingatkan, Bangsa ini akan tetap dalam middle income trap bila presiden hasil Pemilu 2024 nanti meneruskan kebiasaan presiden-presiden sebelumnya seperti SBY dan Jokowi, yang banyak menebar subsidi tanpa dimbangi dengan peningkatan kebijakan mendasar untuk industrialisasi yang memajukan rakyat.
Dari sisi hukum, Bivitri Susanti menyampaikan bahwa KUHP masih dengan wajah paradigma kolonial dimana hukum untuk mengatur ketertiban masyarakat berdasarkan keinginan penguasa. Demikian halnya dengan turunan hukumnya pun masih sama. Berita bohong yang menimbulkan keonaran digunakan untuk membungkam kebebasan berpendapat. Hukum sebagai alat untuk meraih capaian pembangunan seperti undang-undang cipta kerja dalam mengejar capaian ekonomi. Dan cenderung abai terhadap hak-hak manusia dan lingkungan. Demikian juga UU Minerba yang dibuat dalam paradigma capaian ekonomi atau investasi yang menguntungkan bagi invenstor tapi tidak bagi rakyat
Kedepan, lanjut Bivitri, Presiden yang layak pilih yaitu presiden yang mampu mengubah cara pandang hukum, sehingga menjadi instrumen bagi negara untuk memenuhi hak konstiusional warga. Presiden mendatang mesti bisa menempatkan tata kelola di bidang hukum berjalan secara teknokratis.
Secara politik, Fachry Ali memberi ilustrasi yang sangat runtut dan menarik, dengan mengambil pelajaran fenomena berharga 100 tahun lalu, sekitar tahun 1924 manakala para intelektual dan cendekiawan menjamur dan leluasa mengartikulasikan tujuan kemerdekaan. Saat itu, bibit kaum terpelajar melahirkan gerakan nasional yang memunculkan gagasan dan ide kemerdekaan 1945.
Saat ini partai politik mengalami krisis gagasan ideal tentang Indonesia ke depan. Krisis gagasan ini menyebabkan panggung politik Indonesia sepi dari perbincangan tentang gagasan Indonesia pasca pemilu 2024. Reintelektualisasi politik Indonesia mendesak untuk dilakukan.
Lebih lanjut Fachri menyatakan, partai politik lah yang seharusnya merumuskan Indonesia ke depan, bukan hanya sibuk karena bingung untuk sekedar menentukan cawapres pemilu 2024 mendatang. Artinya, reintelektualisasi Politik Indonesia penting dan mendesak untuk dilakukan supaya pilihan-pilihan politik tidak semata disandarkan pada political forces (basis massa pendukung) seperti yang berlangsung saat ini namun juga ditentukan oleh kalkulasi ideologis yang bermuatan gagasan ideal tentang masa depan Indonesia.
Jakarta – Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina melalui Paramadina Communication Institute (PCI) membuat forum seminar dan peluncuran buku dengan tema “Kehampaan Hak Rakyat di Hadapan Oligarki Menjelang Pemilu 2024”. Dalam peluncuran buku ini, Universitas Paramadina menggandeng LP3ES.
“Saya berterima kasih karena ini merupakan kegiatan yang sangat peduli tentang pengembangan peradaban ilmiah dan macam-macam. Kami dari LP3ES menyambut baik atas kerjasamanya,” kata Ketua Dewan Pengurus LP3ES, Abdul Hamid secara virtual, Kamis, 13 Juli 2023. Abdul Hamid mengatakan hak rakyat di Indonesia memang betul hampa, karena Indonesia sudah mengalami perubahan dalam sistem demokrasi.
“Kalau saya lihat Indonesia ini negara sebagai pedagang dengan menghimpun oligarki kemudian rakyat seluruh memberi seperti toko klontong, sehingga rakyat tidak mempunyai hak,” katanya.
Abdul Hamid menilai kehampaan yang dirasakan pada rakyat itu harus dievaluasi oleh negara, terlebih menjelang Pemilu 2024 mendatang. “Harus dievaluasi selama 5 tahun, tidak cukup saat pemilu. Tapi evaluasi kinerja, yang parameternya adalah pancasila,” ucapnya.
Menurutnya, penyelenggaraan negara yang saat ini akan digelar, yaitu Pemilu harus dievaluasi oleh rakyat. Evaluasi itu juga harus sesuai dengan standar dari negara itu sendiri.
“Harus sesuai dengan Pancasila, ya itu parameternya ya 5 sila itu. Apakah semakin berkeadilan, itu penting karena selama ini tidak ada dalam proses bernegara kita,” pungkasnya. Abdul Hamid mengingatkan jika suatu negara rusak, bukan menjadi tanggungjawab partai politik lagi, melainkan masyarakat.
“Bukan menjadi tanggungjawab partai jika negara rusak. Mohon maaf, tidak ada tanggungjawab partai tidak ada, jika mereka diamanati kemudian rusak, ya rusak saja,” katanya.
Perekonomian dunia diprediksi akan diterpa resesi ekonomi mulai tahun 2023. Inflasi yang tinggi, krisis energi dan pangan, hingga konflik geopolitik Ukraina dan Rusia membuat ekonomi dunia berpotensi terjerumus dalam jurang berbahaya. Respon dari urgensi tersebut LP3ES menyelenggarakan Scholarium pada Jumat, 4 November 2022 di aula kantor LP3ES. Bersama dengan narasumber ahli Zaenal Muttaqin dan Fahmi Wibawa, Scholarium yang juga dihadiri oleh Ikatan Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Kuningan (IPPMK) ini mengusung tajuk “Resesi Ekonomi”.
Waspada terhadap Ketergantungan Impor
Menurut Penuturan Fahmi Wibawa, Direktur Eksekutif LP3ES, masalah resesi yang mulai ramai diperbincangkan ini penting untuk diketahui penyebabnya. Suatu negara bisa dikatakan resesi bila terjadi penurunan kapasitas kegiatan ekonomi secara menyeluruh. “Kegiatan ekonomi yang terus menerus mengalami krisis hingga pertumbuhan ekonomi sulit kembali naik, ini yang disebut sebagai resesi.”
Namun pertanyaan perihal situasi negara kita yang apakah tengah menghadapi atau mengalami krisis ini yang menurutnya penting dicermati. Cara mengenali situasi resesi ekonomi bisa diketahui dari kehidupan sehari-hari yang terjadi di lingkungan kita. Resesi ditandai dengan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok, penurunan daya beli masyarakat, dan kelangkaan komoditas barang dan jasa. Kalau situasi tersebut terjadi secara akumulatif maka negara sedang mengalami resesi ekonomi. Sebaliknya, bila sirkulasi kegiatan ekonomi masih berjalan secara stabil dan dapat dikendalikan, perekonomian negara masih tergolong aman dari resesi.
Resesi ekonomi global ditandai dengan penurunan kegiatan ekonomi di sebagian besar negara, banyak negara yang terkena dampak akibat perekonomian saling terhubung dan menggantungkan. “Misalnya konflik geopolitik antara Rusia dan Ukraina menimbulkan ketersediaan minyak dunia mengalami penurunan atau kelangkaan. Ini terjadi karena pasar minyak dunia terganggu akibat harga-harga komoditas yang lain naik secara meroket,” ucapnya.
Sejumlah faktor yang menghambat pertumbuhan ekonomi di sejumlah negara menyebabkan lonjakan inflasi yang tinggi di sejumlah negara di dunia. Di Eropa kebutuhan energi yang besar sementara pasokan yang tidak sebanding dengan permintaan akhirnya memicu terjadinya inflasi. “Resesi ekonomi yang terjadi di negara-negara Eropa menular ke berbagai negara di Amerika dan Asia. Ini juga menyebabkan ketersediaan valuta asing menjadi menurun akibat terhambatnya transaksi perdagangan internasional,” ungkap Fahmi.
Resesi ekonomi yang banyak menghantui negara di dunia sesungguhnya akan memberikan dampak bagi perekonomian dalam negeri, akan tetapi yang menjadi tolak ukur adalah seberapa besar pengaruh dari persoalan tersebut. Dampak resesi ekonomi ditentukan dengan tingkat ketergantungan Indonesia terhadap barang-barang impor. Mekanisme perdagangan ekspor dan impor beroperasi melalui valuta asing sebagai alat pembayaran yang sah dan diakui dalam perdagangan internasional.
Ketergantungan terhadap impor yang lebih besar dibandingkan dengan nilai ekspor akan menguras ketersediaan valuta asing Indonesia. “Jumlah valuta asing Indonesia mencapai 164 miliar US Dollar (US$), dengan nilai sebesar ini Indonesia masih mampu melakukan impor dalam kurun waktu 5-6 bulan kedepan. Artinya sudah cukup aman untuk mampu membuat kita survive dari tekanan resesi global.”
Melihat keadaan saat ini, Fahmi Wibawa cukup optimis Indonesia bisa terhindar dari ancaman resesi global. Namun dengan catatan mengurangi ketergantungan terhadap impor minyak dan bahan pangan seperti kedelai dan gandum, serta memastikan tingkat inflasi yang terkendali.
“Tahun 2023 banyak pengamat dan pemerhati ekonomi yang memprediksi pertumbuhan ekonomi indonesia tumbuh di angka 4-5%. Tentu dengan catatan dua komoditas impor (energi dan pangan) terkendali. Kalau impor energi dan pangan mengambil porsi besar ketersediaan valuta asing, maka kita akan terkena dampak dari resesi global. Kedepannya kita perlu menjaga diversifikasi energi dan pangan kita agar pertumbuhan ekonomi tersebut dapat tercapai,” pungkasnya.
Perkuat Kemandirian Ekonomi Lokal
Sementara Zaenal Muttaqin, peneliti LP3ES, menyorot gejala resesi ekonomi berdasarkan output perekonomian yang dapat dihasilkan oleh suatu negara. Dalam hal ini, mengukur seberapa besar suatu ekonomi menghasilkan barang dan jasa. Output maksimal yang dapat dihasilkan negara menggunakan sumber daya ekonomi yang ada saat itu diistilahkan sebagai PDB Potensial. Sedangkan PDB riil merujuk pada nilai aktual output yang diproduksi dalam satu periode (satu tahun) mengacu pada persentase pertumbuhan ekonomi.
“PDB riil ini bisa di atas, di bawah, atau tepat pada PDB potensial. Perbedaan nilai antara PDB riil aktual dan PDB potensial kita sebut sebagai kesenjangan output (output gap). Jika PDB riil aktual berada di atas PDB potensial, kesenjangan output positif. Itu menunjukkan bahwa perekonomian sedang berproduksi di atas tingkat maksimumnya. Sementara itu, jika PDB riil di bawah PDB potensial, kesenjangan output negatif disebut sebagai kesenjangan deflasioner (deflationary gap). Situasi semacam itu biasanya terjadi selama kontraksi atau resesi ekonomi,” jelas dosen Fakultas Ekonomi Bisnis UIN Jakarta ini.
Ketika inflasi mengalami kenaikan dan memicu resesi ekonomi, maka perbankan melalui kebijakan moneternya akan menaikkan suku bunga, situasi ini akan menarik investor untuk melakukan investasi. Harapannya masyarakat juga akan memilih menempatkan uangnya di bank dibandingkan menghabiskannya untuk konsumsi. Imbasnya, peredaran uang berkurang dan permintaan terhadap barang menurun. Saat permintaan barang melandai, harga akan cenderung merosot sehingga tingkat inflasi bisa menurun.
Berkaca pada situasi ekonomi yang sekarang ini terjadi, secara matematis resesi global menurutnya tidak menjadi ancaman yang serius. Pasalnya nilai PDB masih cukup besar sebagai modal ekonomi untuk menghadapi krisis global ini. “Struktur PDB kita hanya 20% nya yang dipengaruhi oleh kemungkinan dampak dari resesi global. Tidak akan sampai pada kemungkinan terburuk, diprediksi hanya akan mengalami kelambatan saja.” Menurutnya jumlah produksi Indonesia yang besar juga turut membantu di kala dunia jatuh dalam jerat resesi. Indonesia juga memiliki keuntungan dari jumlah populasi penduduk yang besar, menjadi pasar potensial bagi hasil produksi lokal.
“Kalau sebagian besar produktif ini mendorong jumlah produksi dan konsumsi yang stabil, peningkatan PDB akan terjadi. Indonesia diprediksi selamat, karena produksi tinggi, populasi tinggi. Maka daya beli dari hasil produksi kemungkinan juga tinggi, sehingga tidak akan terlalu terkoneksi dengan pasar internasional,” tandasnya
Maka kunci dari menghindari resesi global menurutnya kemandirian ekonomi lokal yang perlu diperkuat. Perekonomian lokal berperan menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Tenaga kerja berdaya dan memperoleh penghasilan, sementara laju produksi juga akan meningkat seiring munculnya benih-benih wirausaha yang produktif dari kalangan masyarakat. Kendati demikian, menurut Zaenal penguatan ekonomi lokal masih kurang cerdas dalam mengenali potensi daerahnya sendiri, dan masih kurangnya tenaga yang profesional dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan ekonomi daerah.
“Banyak kemandirian lokal yang kita punyai itu malah milik orang lain. Penikmat utamanya orang luar. Daerah harus memiliki kendali kuat agar aktor-aktor utama penggerak perekonomian berasal dari warga lokal,” tutupnya.
Kuatnya daya tahan usaha kecil dan menengah dalam menghadapi badai krisis ekonomi dan moneter mendesak munculnya isu penguatan ekonomi rakyat. Sebagai usaha yang paling berpengaruh memberikan kontribusi dalam memenuhi keperluan rakyat banyak, sudah saatnya mengedepankan transformasi perekonomian nasional yang berbasis usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi sebagai tulang punggung perekonomian bangsa.
Kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang diumumkan oleh Pemerintah pada 3 September 2022 lalu menuai polemik. Mulai dari pemenuhan hak rakyat secara demokratis, munculnya gerakan mahasiswa hingga upaya alternatif bagi Kelompok rentan. Berdasarkan hal tersebut, Scholarium LP3ES berkolaborasi dengan Ikatan Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Kuningan (IPPMK) Jadetabek mengadakan diskusi dengan tema “Menyoal Harga BBM, Negara Kesejahteraan, dan Kelompok Rentan.” yang diselenggarakan di kantor LP3ES. Jumat, 16 September 2022.
Malik Ruslan, Peneliti Senior LP3ES, selaku pemateri diskusi menjelaskan Kenaikan harga BBM erat kaitannya dengan kesejahteraan masyarakat secara luas. “ Yang menjadi titik tekannya adalah kesejahteraan umum, bukan kesejahteraan saja” ujarnya.
Pasalnya, hal tersebut sudah diatur didalam konstitusi. Negara tidak hanya semata-mata menjaga keamanan dan ketertiban. Tetapi, memikul tanggungjawab keadilan sosial, Kesejahteraan umum dan kemakmuran rakyat.
Dalam hal ini, menurutnya kita harus merujukan pada alenia keempat dalam UUD 1945 yang menjelaskan bahwa tujuan bernegara adalah memajukan kesejahteraan umum. Kesejahteraan umum meliputi antara demokrasi ekonomi dan demokrasi politik.
“Kombinasi tersebut sudah diramu oleh Bung Hatta yang ia sebut sebagai demokrasi ekonomi dan Bung Karno sebagai sosio demokrasi atau demokrasi Politik” tegasnya.
Namun ia sangat menyayangkan dewasa ini pemerintah lebih banyak bicara tentang demokrasi politik dibandingkan demokrasi ekonomi.
Padahal menurutnya demokrasi ekonomi sudah diatur dalam pasal 33 ayat 4 UUD 1945 yang berbunyi “Menyatakan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”
Penulis buku “Politik Anti Korupsi” ini juga menjelaskan, bahwa Demokrasi Ekonomi merupakan Rumah bagi Negara Kesejahteraan. “Tempat Negara Kesejahteraan didalam Demokrasi Ekonomi itu. Itu adalah rumahnya, ketika itu di angkat dan dikeluarkan dari dalam maka kesejahteraan tidak punya rumah Karena rumahnya dalam demokrasi ekonomi” jelasnya.
Disisi lain ia juga menekankan perlunya porsi yang tepat dalam menempatkan demokrasi ekonomi untuk mewujudkan demokrasi dalam negara kesejahteraan.
“Paradigma ekonomi didalam demokrasi juga harus ditempatkan pada porsi yang tepat , tidak hanya soal investasi saja, melainkan juga penegakan hukum dan pemenuhan hak-hak rakyat “ tegasnya.
Dalam hal ini konsep negara kesejahteraan umum juga merujuk pada sila kelima pancasila- keadialan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Menurutnya pemerintah gagal dalam mewujudkan keadilan sosial. Dalam konteks ini ditandai dengan kegagalan dalam menyalurkan subsidi BBM yang diperuntukan untuk masyarakat.
Jika merujuk pada masa pemerintahan Presiden SBY subsidi mencapai angka kisaran 300 Triliun dan pada masa Pemerintahan Jokowi mencapai 502 Triliun. Namun masih menghadapi masalah yang tak kunjung usai; salah sasaran. Menurutnya persoalan salah sasaran tersebut terletak pada management penyaluran subsidi yang dilakukan pemerintah.
BLT; Obat Tidur Kenaikan BBM
Diyah Miftah, Pemateri dari IPPMK dalam hal ini merespon kenaikan BBM sangat berdampak pada kehidupan masyarakat secara luas.
“Imbasnya kepada masyarakat, BBM naik dan perekonomian terganggu”
Menurut Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah tersebut, Masalah yang di timbulkan oleh kenaikan BBM tidak hanya terhenti pada respon masyarakat saja- pro atau kontra. Namun, apa solusi yang ditawarkan pemerintah kepada masayarakat sebagai kelompok yang terkena imbas dari kenaikan BBM. Sebagai langkah menepis ketimpangan yang akan terjadi.
“Ini tidak diimbangi dengan solusinya , dengan apa yang masyarakat dapatkan.” Tegasnya.
Disisi lain, menurut Diyah permasalahan ini juga harus dilihat dalam konteks yang lebih luas. Ia menilai pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada masyarakat bukan langkah yang solutif dan berkelanjutan.
“BLT hanya sebagai obat tidur yang sifatnya hanya sementara. Tapi untuk kedepannya tidak ada hal konkrit yang berkelanjutan” Tegasnya.
Dalam hal ini Antika Septi, Mahasiswa Brawijaya, selaku pemateri juga menilai bahwa Kenaikan BBM tersebut mendapat respon yang tegas dari mahasiswa. Namun ia juga menilai, mahasiswa perlunya menawarkan langkah alternatif kepada pemerintah.
“Respon mahasiswa terkait menolak bbm sudah benar, tinggal bagaimana cara nya menawarkan solusi tandingan.“ Jelasnya.
Menurutnya langkah yang harus ditawarkan mahasiswa kepada pemerintah adalah beralih kepada energi terbarukan. Pasalnya energi terbarukan sudah menempuh kajian panjang dari berbagai akademisi. Peralihan dari BBM ke energi terbarukan tersebut lebih menekankan pada energi yang lebih ramah lingkungan dan tidak merusak alam.
Sebab, berdasarkan data yang ia peroleh, 61% pembangkit tenaga listrik adalah tenaga uap dengan bahan bakar batu bara. Menurutnya Ini sangat kontradiktif, pasalnya penggunakan batu bara sebagai bahan bakar akan berdampak pada kerusakan alam. Padahal selama ini kita selaku mahasiswa berupaya mengadvokasi masyarakat yang tergusur karena tambang dan juga merusak lingkungan.
Ia berpendapat bahwa energi terbarukan adalah solusi dari permasalahan yang ada sekarang. merealisasikan kajian yang telah dilakukan oleh para ahli dalam peralihan energi terbarukan..
“Menurut saya kita perlu ngomongin hal lain dari kenaikan BBM; energi terbarukan dan dampak lingkungan” tegasnya.
Merespon hal tersebut, Erfan Maryono, Direktur Eksekutif LP3ES menjelaskan jika hal tersebut diwujudkan maka biaya produksi yang akan dihabiskan dalam menuju energi yang ramah lingkungan sangat mahal.
Menurutnya, hal ini juga harus menjadi pertimbangan serius bagi negara. Karena jika hal tersebut tidak segera dilakukan akan berimplikasi besar terhadap lingkungan.
“Jadi tinggal gimana ngitungnya , jangka pendek atau jangka panjang, jika jangka panjang yang kita harus investasi untuk pengalihan sumber energi ini harus dilakukan.” Jelasnya.
Penulis: Muhammad Alfaridzi (Internship LP3ES) Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Saat kritik banyak ditujukkan kepada pemerintah melalui media digital, justru pemerintah secara resmi mengaktifkan polisi siber. Kehadiran polisi virtual da polisi siber ini banyak menuai kekhawatiran dari berbagai pihak atas kualitas demokrasi di Indonesia.
Untuk merespons isu tersebut, LP3ES kembali menggelar diskusi bertajuk “Aktivisme Digital, Polisi Siber, dan Kemunduran Demokrasi”. Diskusi juga menjadi menarik dengan kedatangan Yatun Sastramidjaja dari Universitas Amsterdam yang sedang melakukan riset tentang etnografi digital. Kemudian Retna Hanani berfokus pada perempuan aktivis dan Damar Juniarto yang merupakan Direktur Eksekutif SAFEnet membahas khusus penindasan digital.
Diskusi dibuka oleh Direktur Center for Media and Democracy LP3ES, Wijayanto dengan menyampaikan pengantar tentang polisi siber, polisi siber, dan kemunduran demokrasi.
Dalam paparannya, Wijayanto menegaskan bahwa Polisi siber bertugas menegakkan hukum terhadap tindakan kejahatan sedangkan polisi virtual lebih mengarah pada edukasi pada masyarakat. Tentunya ada dasar hukum dari pembentukan polisi siber dan polisi virtual dengan SE Nomor 2/2/II/2021.
Menurutnya, ada tiga argumentasi diciptakannya polisi siber yakni serangan digital dan kejahatan cyber yang kian masif, penyebaran hoax dan disinformasi serta penyebaran ujaran kebencian dan SARA di media sosial.
Teror siber atas aktivis pro demokrasi dilakukan dalam bentuk peretasan maupun pengawasan media sosial. Gelombang teror dapat dilihat pada para akademisi penolak revisi UU KPK akhir 2019. Teror yang menyita perhatian publik dan tidak mudah dilupakan adalah aktivis Ravio Patra pada April 2020. Teror tidak cukup sampai di sana bahkan disampaikan dengan ancaman pembunuhan melalui pesan telepon maupun datang langsung dengan ancaman kekerasan verbal.
Akun Instagram Pemred Koran Tempo bahkan pernah diretas setelah mewawancarai aktivis UGM yang diancam. “Seluruh kasus peretasan bahkan tidak ditindaklanjuti polisi untuk mengungkapkan pelakunya. Kelambanan polisi dalam menindaklanjuti kasus ini menjadi cerminan toleransi negara atas aksi terror,” kata Wijayanto melalui siaran pers di Jakarta, Jumat (5/3).
Kehadiran polisi siber dan polisi virtual, katanya, justru berpotensi menciptakan persepsi ancaman dalam dunia digital. Keberadaan polisi siber juga masih minim interaktif (deliberasi) pada ruang publik digital ditandai dengan tidak adanya respons admin terhadap berbagai komentar netizen. Kehadirannya juga belum memberi proteksi pada aktivis pro demokrasi yang menjadi korban kejahatan digital meskipun dengan dukungan anggaran yang besar. “Adanya polisi siber dan polisi virtual semakin menguatkan studi atas kebangkitan Polri di era reformasi sebagai aktor dominan dalam politik sipil,” ujarnya.
Dari Social Media Mobilization Menuju Social Media Manipulation
Yatun Sastramidjaja memaparkan diskusi tentang The Wheel of (un)fortune of activism and repression in the digital age (and how to break it) yang dengan lugas menekankan adanya represi menghadirkan aktivisme, begitu pula aktivisme mengundang adanya represi. Jika ada situasi represif baik di ruang umum, kehidupan sehari-hari atau pun bahkan kehidupan digital maka akan ada rebellion baru yang lahir, terutama oleh kaum muda.
Dia mengatakan, perjuangan demokrasi Indonesia yang panjang dapat terbagi menjadi beberapa periode. Dimulai dari tahun 1977-1990 oleh kelompok anti otoritarianisme di orde baru, lalu tahun 2000-2014 oleh kelompok reformasi, kemudian tahun 2017-sekarang yang penuh demokrasi, hak sipil, dan keadilan sosial. Aktivisme digital telah lama terbentuk, misalnya pada kasus Koin untu Prita dan Cicak vs. Buaya (2009) di mana netizen muda bergabung dalam kampanye online melawan kejahatan, ketidakadilan, serta eksperimen dengan bentuk baru kegiatan online yang mengundang partisipasi publik.
“Keadaan tersebut membawa pada kesadaran atas ketidakadilan berkepanjangan pasca reformasi serta terbangun kekuatan kolektif, pemberdayaan pribadi, pengaruh dan partisipasi,” ujarnya.
Aksi digital dalam kampanye pemilu tampak pada pilpres 2014 dimana generasi muda ikut mengampanyekan dan menyalurkan kreativitas-nya dalam kampanye. Bentuk itu terulang pada pilpres 2019 dengan lebih masif dan profesional.
“Gerakan berubah dari social media mobilization menuju social media manipulation. Adanya perang informasi digital memerlihatkan hegemoni yang terbentuk mengalami counter namun rezim berhasil melawan balik. Counter yang dilakukan keduanya dapat dalam bentuk naratif, tagar, maupun infografis. Keadaan tersebut membuat cyber-manipulation menjadi cyber-repression,” katanya.
Yatun mengatakan, generasi baru dari aksi rebel lahir dari interaksi virtual dan fisik. Melibatkan peserta baru dalam perjuangan demokrasi. Multiple isu seperti ketidakadilan, korupsi, demokrasi, pendidikan, lingkungan, gender, dsb merupakan diskusi yang saling berhubungan dan mereka menyadarinya. Kewarganegaraan demokratis sebagai praktik yang diwujudkan.
Selanjutnya, Retna Hanani memaparkan tentang Ruang Kewargaan, Agensi Perempuan Aktivis dan Pandemi Covid-19. Aktivitas politik perempuan di civil society terlalu sempit jika hanya dipelajari sebagai activism perempuan.
Indikasi penurunan kualitas demokrasi di Indonesia bukan hanya sepanjang 2018 hingga 2021 ini. Situasi Covid-19 menjadi penting dalam penelitian mengingat adanya aspek politik spasial.
“Kebijakan politik dan hukum yang dihasilkan pada masa pandemi dan cara negara menghadapi protes menunjukkan perluasan sifat otokrasi negara. Pandemi agaknya digunakan pelbagai kekuatan politik untuk memberikan tekanan yang lebih luas kepada civil society. Fragmentasi pada civil society ini merupakan akibat polarisasi politik Pilres 2014 dan 2019,” ujarnya.
Jika berbicara mengenai gender, katanya, maka posisi perempuan menjadi yang paling rentan dan dirugikan dalam pandemi. Namun para pemimpin perempuan terbukti bekerja lebih baik dalam menghadapi pandemi seperti Jacinda Ardern, Angela Markel, dsb.
Kemudian pertanyaan besar pada penelitian tersebut adalah sejauh mana tekanan dalam ruang demokrasi yang diakibatkan oleh regresi demokrasi dan pandemi memiliki hubungan dengan aksentuasi politik perempuan aktivis.
Dia mengatakan, dengan hadirnya pandemi, aturan hukum lian membatasi pendirian organisasi civil society bahkan dukungan finansial semakin terbatas. Pelbagai prosedur administrasi mengalami kesulitan. Ditambah ancaman dari aparat negara dalam bentuk akun-akun media sosial anonim terkait aktivitas mereka.
Negara juga menegaskan larangan dan menganjurkan agar tidak digelarnya protes sebagai bentuk pencegahan Covid-19. Pandemi menambah pekerjaan dan tugas domestik baru khususnya bagi perempuan aktivis. Tekanan ekonomi memengaruhi kekerasan domestik dan konflik dalam keluarga. Perempuan dari kelas pekerja bahkan memiliki hambatan yang lebih besar.
Perempuan aktivis, lanjutnya, memiliki kemampuan beradaptasi dengan tuntutan domestik baru dan mempertahankan keterlibatannya di dunia publik. Mereka mampu menegosiasikan pembagian kerja dalam keluarga namun semakin sulit bagi perempuan kelas pekerja.
“Militansi dari merosotnya ruang demokrasi sebelum pandemi memberikan investasi dan kekuatan lebih untuk mengatasi tekanan ‘gendered space’ yang diakibatkan oleh pandemi. Teknologi mendukung keterlibatan perempuan aktivis dana civil society. Namun ruang digital tidak sepenuhnya aman mengingat peluang riskan berbasis identitas yang ada. Maka dari itu pentingnya inter-seksionalitas dalam melihat ruang kewargaan,” ujarnya.
Pembicara pamungkas yakni Damar Juniarto, yang membahas tentang penindasan teknologikal terhadap aktivisme digital di Indonesia. Penindasan mengacu pada situasi tidak adil dan kejam dan dicegah untuk memiliki kesempatan dan kebebasan. Sedangkan kata ‘teknologikal’ berkaitan dengan teknologi khususnya kemajuan teknologi atau telekomunikasi.
“Arena mayantara memiliki tarik menarik antara ruang subur demokrasi versus ruang anti-demokrasi. Kemudian dalam melihat ruang media digital menarik pula memelajari demokrasi verus polarisasi. Di hadapan polarisasi, demokrasi dikesampingkan,” ujarnya.
Perang bukan lagi soal pertikaian antarnegara namun bagaimana melakukan kontrol atas populasi dan proses pengambilan keputusan politik daripada kuasa atas wilayah. Internet dipersenjatai dengan tujuan menciptakan efek politik, strategis, operasional atau taktis dalam mendukung tujuan kebijakan. Penggunaan cara militer diikutkan seperti mengumpulkan informasi, memengaruhi, menipu, menghalangi, mengganggu, dan menghancurkan target.
Sampai saat ini, data dari SAFEnet mengungkap bahwa polisi siber lebih banyak menyelidiki kasus pencemaran nama. Pasal laporan terbanyak adalah ujaran kebencian. Warga dengan warga banyak melakukan pelaporan.
Meski begitu dosen, guru, mahasiswa dan pelajar mulai banyak memperoleh sorotan akibat pelaporan. Mayoritas pelapor adalah pejabat publik. Kini Indonesia telah mencapai status “siaga satu” menghadapi Otoritarianisme Digital. “Antisipasi ke depan meliputi jalur hukum, ketahanan siber, serta konsolidasi gerakan dan dukungan,” pungkasnya. (Very)