Pembatasan Media Sosial Dinilai Mirip Demokrasi Liberal 1995

Kerusuhan saat aksi 21-22 Mei lalu berujung pembatasan akses media sosial selama tiga hari untuk menghindari penyebaran berita bohong dan hal lain yang tidak diinginkan. Hal ini diumumkan oleh Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto.

Pembatasan itu disebut memiliki kemiripan dengan periode demokrasi liberal yang terjadi pada 1955. Hal itu disampaikan Dosen Universitas Diponegoro, Wijayanto dalam diskusi bertema Perbandingan dan Praktik Demokrasi Liberal 1955 dan 2019 yang diadakan oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES).

Wijayanto menilai keputusan membatasi penggunaan media sosial agak berlebihan mengingat pengguna media sosial terutama WhatsApp di Indonesia sangat banyak. Hal ini menurutnya tidak lazim ditemukan di negara demokrasi.


Sebab, perbedaannya pada masa sekarang, partisipasi politik masyarakat didorong oleh penggunaan media sosial. 

“Wiranto menyebutkan ini adalah upaya untuk menyelamatkan negeri. Ia mengklaim keamanan nasional terancam. Padahal di Jakarta, di beberapa titik di kota Jakarta. Ini mungkin agak lebay,” kata Wijayanto di Hotel Falatehan, Jakarta Selatan, Selasa (28/5).

Wijayanto menjelaskan hal ini mengingatkan dirinya pada masa kepemimpinan Presiden kedua Soeharto di mana ia ‘memberangus’ kebebasan media kecuali media milik militer dan RRI yang telah diambil alih pemerintah.

Namun, yang lebih mirip adalah periode tahun 1950-an di mana sistem yang dianut Indonesia berujung pada demokrasi terpimpin. Sistem demokrasi di mana semua keputusan dan kebijakan diambil oleh pemimpin negara yang pada waktu itu adalah Presiden Sukarno.

“Dari sisi media, Mochhtar Lubis menulis bahwa pada masa itu media massa sudah memiliki kebebasannya. Ujung dari periode demokrasi liberal pada 1955 ini adalah kita sampai pada periode demokrasi terpimpin atau guided democracy,” ujarnya.

“Demokrasi yang diarahkan,” ucap dia.


Lebih lanjut, ia juga menambahkan penerapan pembatasan terhadap media sosial mestinya ditemukan di sejumlah negara dengan kategori tidak bebas menurut tingkat kebebasan (level of freedom) dari data yang diluncurkan oleh organisasi Freedom House.

Menurut dia, Indonesia menerapkan kebijakan yang sama dengan China, Sri Lanka, Vietnam, Bangladesh, Turki dan Iran yang dikategorikan tidak bebas.

“Freedom House mencatat bahwa level kebebasan di sana lebih rendah dari pada di Indonesia. Indonesia termasuk negara yang agak bebas. Tapi melakukan kebijakan yang sama dengan China, Iran, Bangladesh,” ujarnya. 

Terakhir, Wijayanto menilai secara keseluruhan telah banyak kemiripan periode demokrasi saat ini dengan tahun 1955. Ia pun mengutip teori Jamie Mackie dan James Cotton yang menjelaskan pasang surut kebebasan media dan organisasi sipil pada masa lalu dipengaruhi oleh ideologi developmentalisme.

Ideologi itu diterapkan dengan meningkatnya pembatasan kepada media seiring dengan semakin kuatnya kapasitas rezim secara ekonomi dan semakin besarnya kebutuhan rezim untuk membangun.

Meskipun Wijayanto belum menyimpulkan Indonesia kembali pada masa Orde Lama atau Orde Baru, namun menurutnya hal ini sudah cukup mengganggu penerapan demokrasi yang ada.

“Sekurang-kurangnya gejala-gejala itu sudah secara nyata jadi penghalang konsolidasi demokrasi yang sekarang ini sedang kita langsungkan,” ujar dia.

Sumber : CNN Indonesia