Satire: Patriotisme Bung Hatta yang Masih Tertutup Tabir

Satire: Patriotisme Bung Hatta yang Masih Tertutup Tabir

Wollandia ini perwujudan mokondo era kolonial. Ia miskin melarat. Menikahi Hindania, sang jelita yang saat malam rumahnya diterangi berjuta-juta permata berkilauan, demi mengeruk hartanya saja. Jangan harap ia menyayangi anak-anak Hindania dari pernikahan sebelumnya dengan seorang Brahmana dari India. Wong buah hatinya sendiri saja ia telantarkan di daerah asalnya.

Seiring dewasanya anak-anak Hindania, mereka mulai ngeh akan perlakuan fatherless itu dan berani memprotesnya. Si ayah angkat bejat meresponsnya dengan bersiasat. Wollandia lantas mencoba bermulut manis. Sedikit-sedikit, ia jadi mau membelikan mainan dan mengabulkan permintaan anak-anak angkatnya. Tentunya, itu Wollandia lakukan agar mereka tak merajuk dan ibunya tak jauh dari peluk.

Penulisnya belum sempat memperbarui cerita tersebut dengan happy ending. Spill sedikit saja, 25 tahun sejak cerita ini mulai diketahui publik, Hindania akhirnya bisa lepas dari mokondo satu itu.

Kisah Hindania dan Wollandia ini pertama kali tersiar pada Januari 1920 dalam majalah Jong Sumatra. Judulnya, Nasib Hindania.[1] Mereka tak sepenuhnya rekaan, karena kreatornya memang berangkat dari “otobiografi” sebuah negara yang sedang berupaya lepas dari jerat Kolonialisme: Indonesia.

Saya terkejut campur kagum ketika tahu siapa pencipta satire itu. Ternyata, Mohammad Hatta! Makin kaget ketika tahu bahwa Nasib Hindania adalah tulisan pertama Bung Hatta yang ditulis saat masih berusia 17 tahun!

Sejak kecil, saya paham kalau Bung Hatta itu Bapak Bangsa yang penuh isi kepalanya. Namun, Bung Karnolah yang lebih lekat dengan karakter penyambung lidah rakyat – istilah bekennya, storyteller. Jujur, tidak terbayangkan sebelumnya, image Mohammad Hatta sebagai satiris bakal termaktub dalam kepala saya.

Yang jelas, ini makin menegaskan bahwa patriotisme dalam jiwa dan pikiran Hatta sudah membara sejak muda. Perwujudan rasa cinta terhadap negaranya telah ia tempuh lewat berbagai cara konkret, dari jalur diplomasi, ragam sumbangan pemikiran bidang politik sampai ekonomi, termasuk mockery.

Sekilas, kiprah aktivisme awal Bung Hatta ini mirip dengan founding father Amerika Serikat, Benjamin Franklin. Karirnya sebagai penulis dan pemikir berawal dari menulis kolom satire di media yang dikelola kakaknya, The New-England Courant. Franklin mengkritik secara humoristis kehidupan di era Kolonialisme Inggris kala itu – dari produk pendidikan penjajah hingga kesewenangan penguasa – dalam usia yang begitu belia: 16 tahun.

Sejumput Satire Bung Hatta
Satire layak digolongkan sebagai manifestasi Patriotisme. Sebab, meminjam konsep profesor University of Hawai’i, James Caron,[2] satire punya kekuatan metanoia – istilah dari bahasa Yunani yang berarti “perubahan pikiran”. Tak ayal, jenis humor ini selain cocok untuk menularkan kesadaran baru, juga pemahaman yang lebih mendalam kepada orang lain.

Karena fungsinya lebih dari sekadar menghibur, jeroan satire pun khas. Dari hasil “autopsi” Caron, satire terdiri dari empat elemen: kritik, agresivitas, unsur main-main, dan tawa.[3]

Kritik adalah embrionya satire. Jadi, sebelum membuat satire, harus ada dan terasa dulu kondisi yang menyebalkan, memuakkan, bahkan menyakitkan yang hendak disoroti. Tentunya, kondisi itu kemudian direkam dalam pikiran maupun catatan dengan harapan ada perubahan dan perbaikan.

Kritik tak mungkin lahir sendiri. Pasti, agresivitas yang lazimnya berbentuk emosi negatif juga akan menyertainya. Sangat manusiawi jika kita menemukan bahan buat mengkritik berbarengan dengan rasa marah, sedih, cemas, cemburu, putus asa, dan semacamnya. Emosi-emosi negatif inilah yang berguna sebagai bahan bakar supaya kita berani memuntahkan kritik-kritik itu dan memperjuangkannya sampai menang.

Nah, elemen selanjutnya ini yang paling krusial. Apabila kritik dan agresivitas dipertontonkan secara gamblang, hasilnya tidak akan berbeda dengan orang ngedumel sendiri dan ranting di media sosial. Kritikan “mentah” ini juga rentan membuat pihak yang disenggol risih hingga marah.

Untuk bisa menjadi satire, kritik dan agresivitas perlu disampaikan dalam mode bermain (play). Unsur main-main akan mendorong kita untuk bergerak mencari metode penyampaian kritik yang tidak terlalu nyelekit – entah itu lewat medium tertentu, permainan bahasa, atau teknik lainnya.

Begitu tiga elemen tadi sudah coba dihadirkan, ada kemungkinan elemen terakhir bakal muncul: tawa. Di antara humor lain, satire dikecualikan. Kewajibannya bukan untuk membuat orang lain ngakak kencang alias LOL (laugh-out-loud), tetapi cukup sampai digelitikkan kecil atau LOI (laugh-on-the-inside) saja.[4]

Sepanjang hidupnya, Bung Hatta masih punya sejumput satire monumental; setidaknya, ada dua lagi selain Nasib Hindania. Yang pertama, ketika ia membacakan pledoi di Pengadilan Belanda, 9 Maret 1928.

Alkisah, akibat kegiatan dan pemikirannya di Perhimpunan Indonesia yang dianggap membahayakan Pemerintah Kolonial, Mohammad Hatta dijebloskan ke penjara Den Haag pada 23 September 1927. Bukannya pasrah, Mohammad Hatta – yang kala itu berstatus mahasiswa – justru makin getol mencari pembelaan atas perjuangannya memerdekakan bangsanya sendiri.

Dalam naskah pledoinya bertajuk Indonesia Vrij atau Indonesia Merdeka, ia menyindir Pemerintah Kolonial dengan menyebutnya sebagai “Negara Grotius”. Belanda sendiri mengklaim sebagai negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan hukum universal, seperti dipelopori oleh seorang ahli hukum mereka bernama Hugo Grotius.

Namun nyatanya, pemerintah kolonial Belanda justru melanggar prinsip-prinsip tersebut dengan menindas rakyat Indonesia. Satire “Negara Grotius” adalah upaya Mohammad Hatta dalam menunjukkan tindakan Belanda yang bertolak belakang dengan prinsip keadilan yang begitu mereka elukan. Ia kemudian dibebaskan dua minggu berselang.

Sementara itu, satire ikonik kedua Bung Hatta terjadi setelah kemerdekaan berhasil diraih. Jengah “menjaga dari dalam”, ia akhirnya mundur sebagai Wakil Presiden pada 1 Desember 1956. Sejak itu pula, ia mengawal rezim Soekarno dari luar.

Bung Hatta sebenarnya angkat topi pada Bung Karno yang begitu karismatik dan jago menggerakkan rakyat. Akan tetapi, ia juga sadar akan sisi negatifnya.

Bung Hatta[5] lantas menyindir Bung Karno dengan meminjam tokoh iblis dari cerita Faust karya sastrawan kondang Jerman, Johann von Goethe, Mephistopheles. Bedanya, kalau Mephistopheles adalah ein Teil jener Krafte, die stets das Gute schafft (figur yang selalu menginginkan hal buruk, tetapi pada akhirnya selalu menghasilkan hal baik), Soekarno kebalikannya.

Versi Bung Hatta, tujuan Bung Karno selalu baik, tapi langkah-langkah yang diambilnya justru berseberangan dengan tujuan itu. Ia merasa, sistem Demokrasi Terpimpin ala Soekarno (1959-1965) sangat bertentangan dengan mimpi yang dulu diperjuangkan bersama segenap bangsa Indonesia. Alhasil, yang terasa justru simbolisme diri Soekarno alias diktatorisme, bukan penguatan demokrasi.

Lewat 800-an judul karya tulisnya dan entah berapa banyak panggung pidato yang telah dijejakinya semasa hidup, Bung Hatta tentunya sangat kapabel dalam menyampaikan kritik. Walau begitu, nyatanya ia tak selalu menyampaikannya secara brutal. Ada kalanya, kritikannya dibalut dengan istilah dan perumpamaan yang lebih lembut – berdasarkan bibliografi bacaannya yang luas – agar yang “dijiwit” tidak terlalu kesakitan atau jenggotnya kebakaran.

Perjumpaan dengan sisi patriotisme Bung Hatta yang belum banyak diungkap ini membahagiakan saya secara pribadi. Sebab dari jauh, Bung Hatta seperti bukan manusia. Ia bak Übermensch, karena terlalu ideal – terutama dalam hal kecintaannya terhadap bangsa, ide-ide progresifnya di berbagai bidang, hingga standar moralitasnya yang tinggi sebagai pejabat publik.

Namun, ketika tahu sendiri jika ia ternyata juga manusia biasa yang punya sentuhan humor lagi lihai bersatire, setidaknya ada satu tali yang erat mengikat Bung Hatta dengan saya serta segenap bangsa Indonesia: Selera humor yang menggelora itu ada dalam DNA kita semua.*

Penulis: Ulwan Fakhri

Bibliografi

Caron, J. 2021. Satire as the Public Sphere: Postmodern “Truthiness” and Civic Engagement. Pennsylvania: Pennsylvania State University Press.

Hatta, M. 1960. Demokrasi Kita. Jakarta: Pandji Masjarakat.

――――. 1998. Karya Lengkap Bung Hatta: Kebangsaan dan Kerakyatan, Buku 1. Jakarta: PT Pustaka LP3ES dan Universitas Bung Hatta.

――――. 2000. Karya Lengkap Bung Hatta: Kemerdekaan dan Demokrasi, Buku 2. Jakarta: PT Pustaka LP3ES dan Universitas Bung Hatta.

[1] Mohammad Hatta, Karya Lengkap Bung Hatta: Kebangsaan dan Kerakyatan, Buku 1, (Jakarta: PT Pustaka LP3ES dan Universitas Bung Hatta, 1998), hlm.4-6.

[2] James Caron, Satire as the Public Sphere: Postmodern “Truthiness” and Civic Engagement, (Pennsylvania: Pennsylvania State University Press, 2021), hlm.26.

[3] Ibid., hlm.23-25.

[4] Ibid., hlm.30.

[5] Mohammad Hatta, Demokrasi Kita, (Jakarta: Pandji Masjarakat, 1960), hlm.20. Judul yang sama dimuat dalam Mohammad Hatta, Karya Lengkap Bung Hatta: Kemerdekaan dan Demokrasi, Buku 2, (Jakarta: Pustaka LP3ES dan Universitas Bung Hatta, 2000), hlm.426-440.

 

Kebersahajaan Bung Hatta Bisa Menyelamatkan Indonesia

Kebersahajaan Bung Hatta Bisa Menyelamatkan Indonesia

Bung Hatta mencintai Indonesia di sepanjang hayatnya dengan cara yang indah dan mulia. Gaya hidupnya yang bersahaja menjadi rujukan bagi upaya menyelamatkan dunia. Ia pemimpin yang datang terlalu awal, mendahului zamannya.

Jared Diamond dalam bukunya Collapse: How Societies Choose to Fail or Succeed  menekankan bagaimana peradaban di masa lalu mengalami kehancuran karena eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan, yang didorong oleh keserakahan. Ia menunjukkan dampak buruk eksploitasi alam terhadap keberlangsungan suatu peradaban. Bung Hatta dengan pilihan hidup bersahaja berhasil memimpin dirinya sehingga ia mampu melaksanakan amanat memimpin bangsanya.

Sayangnya, semua data dan kampanye untuk menyelamatkan lingkungan tidak mempan, dan eksploitasi alam dan gaya hidup hedon masih berlanjut bahkan semakin akut. Saat ini, banyak pemimpin dan pejabat negara di mana mereka bahkan keluarganya bangga mempertontonkan gaya hidup mewah. Kebrutalan gaya hidup juga tercermin pada kebijakan publik yang dipilih, misalkan pendekatan pembangunan ekonomi ekstraktif yang eksplotatif dan merusak alam dan menyengsarakan rakyat. Pembangunan berkelanjutan akhirnya sebatas wacana belaka.

Ekonom Sosialis: Bapak Koperasi Indonesia
Cita-cita Bung Hatta agar perekonomian bercorak sosialis dengan koperasi dapat berperan signifikan, semakin jauh panggang dari api. Bung Hatta memimpikan ekonomi kerakyatan, yaitu kedaulatan ekonomi ada di tangan rakyat banyak, bukan semata di tangan rakyat perorangan, semakin ditinggalkan.

Koperasi adalah bukti nyata kedaulatan ekonomi di tangan rakyat karena sistemnya yang berfokus pada kepemilikan bersama dan pengambilan keputusan usaha dilakukan secara kolektif. Dengan koperasi, rakyat dapat menjadi semakin pintar, kemakmuran meningkat dan merata karena keuntungan dan aset koperasi dibagi sesuai porsi partisipasi anggota, dan bukan atas dasar modal yang dimiliki.

Sebagai seorang sosialis, Bung Hatta juga pecinta demokrasi, karena di dalam koperasi pengambilan keputusan dilakukan secara demokratis. Di koperasi, setiap anggota memiliki satu suara terlepas dari berapa banyak modal yang mereka sumbangkan. Ini berbeda dengan perusahaan swasta di mana suara ditentukan oleh jumlah saham yang dimiliki. Dengan prinsip ini, koperasi mewujudkan kontrol ekonomi di tangan rakyat, yaitu setiap anggota berperan aktif dan memiliki suara yang sama dalam arah perkembangan koperasi.

Di koperasilah gagasan Soekarno tentang Sosio-Demokrasi yaitu kedaulatan politik yang berjalan bersamaan dengan demokrasi ekonomi, diwujudkan. Tujuan koperasi mengutamakan kesejahteraan beraspek luas yaitu ekonomi, sosial dan dan budaya para anggota dan bukan keuntungan maksimal. Prinsip-prinsip koperasi yang didasarkan pada solidaritas, keadilan, dan kesejahteraan komunitas, membuat koperasi menjadi instrumen ekonomi yang prorakyat, karena keberhasilan koperasi diukur dari seberapa baik mereka melayani kebutuhan para anggotanya.

Prinsip-prinsip koperasi itu dijiwai ke dalam kepribadian Bung Hatta yaitu prorakyat, egalitarian, demokratis, propendidikan, solidaritas dan peduli kepada komunitas serta hidup yang bersahaja dan mencintai makhluk hidup lainnya dan lingkungan. Prinsip-prinsip demikian ada dalam SDGs yang digagas PBB dan menjadi agenda global.

Pada tahun 2015, International Labour Organization (ILO) memberikan pengakuan kepada International Co-operative Alliance (ICA) terkait kontribusi koperasi terhadap tujuan Sustainable Development Goals (SDGs). Pengakuan ini mencerminkan pentingnya prinsip-prinsip dan peran koperasi dalam mencapai pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. Koperasi berkontribusi pada upaya mengurangi ketimpangan, mempromosikan pekerjaan yang layak, dan mendukung pertumbuhan ekonomi lokal. Badan PBB itu bahkan kemudian bekerjasama dengan ICA untuk memperluas dampak koperasi dalam mendukung pencapaian SDGs, dengan tujuan membangun model pembangunan yang demokratis dan berpusat pada kesejahteraan masyarakat. Kehendak PBB di atas sama persis dengan cita-cita Bung Hatta.

Bung Hatta telah menekuni koperasi sejak muda dengan belajar tentang koperasi pada tahun 1930-an ke Swedia dan negara Skandinavia lainnya. Pemerintah Swedia kemudian mengundang beliau untuk kembali berkunjung ke Swedia pada tahun 1967 di saat beliau sudah berada di luar pemerintahan.

Model Pemimpin Teladan
Nilai dari gaya hidup bersahaja Bung Hatta sejalan dengan prinsip koperasi, karena keduanya menekankan pada kesejahteraan kolektif, keberlanjutan, dan pengendalian konsumsi yang tidak berlebihan. Bung Hatta fokus pada kebutuhan (need) daripada keinginan (want). Ini sejalan dengan prinsip Koperasi yang juga fokus pada kebutuhan dan bukan keinginan para anggotanya.

Pendukung koperasi akan lebih memprioritaskan kebutuhan dasar daripada keinginan konsumtif yang didorong oleh keserakahan. Ini sesuai dengan gaya hidup bersahaja, di mana pengeluaran diatur berdasarkan kebutuhan yang sebenarnya, bukan sekadar keinginan atau gaya hidup konsumtif.

Bung Hatta pun menghayati prinsip solidaritas dan keadilan sosial dalam kehidupan sehari-harinya. Keduanya merupakan amanat Pancasila. Demikian pula dengan koperasi yang mendorong anggotanya untuk saling mendukung, gotong royong.

Gaya hidup bersahaja juga terkait dengan nilai solidaritas sosial, di mana seseorang lebih peduli terhadap kesejahteraan komunitasnya daripada berfokus pada kemewahan pribadi. Dengan hidup sederhana, pendukung koperasi dapat menyisihkan lebih banyak sumber daya untuk mendukung usaha bersama dan berkontribusi lebih besar terhadap kesejahteraan komunitas mereka.

Keserakahan merusak bumi dan melukai rakyat. Sebaliknya, gaya hidup bersahaja mencakup sikap yang mendukung keberlanjutan lingkungan, seperti menghindari pemborosan sumber daya dan memprioritaskan produk-produk lokal. Dengan mengadopsi pola konsumsi yang sederhana, pendukung koperasi turut serta menjaga sumber daya untuk generasi mendatang.

Pendukung koperasi juga cenderung memilih untuk mendukung produk lokal daripada barang-barang impor atau produk korporasi besar, karena koperasi bertujuan memperkuat ekonomi komunitas dan rakyat. Gaya hidup bersahaja juga selaras dengan pola konsumsi yang mendukung produk lokal dan mengurangi ketergantungan pada rantai pasokan global yang sering tidak berkelanjutan. Hal ini menciptakan ekosistem ekonomi yang lebih mandiri dan tahan terhadap fluktuasi pasar global.

Meski menjabat sebagai salah satu pendiri negara dan Wakil Presiden Republik Indonesia, Bung Hatta bergaya hidup sederhana sejak muda, meskipun beliau berasal dari keluarga terpandang dan kaya. Sikapnya yang menolak gaya hidup mewah mencerminkan kecintaannya terhadap rakyat dan negeri. Dalam konteks kepemimpinan modern, kesederhanaan ini bukan hanya soal gaya hidup, tetapi bentuk komitmen pada integritas dan fokus pada kesejahteraan rakyat, terutama di era ketidakpastian global.

Pemimpin yang bersahaja mampu mencerminkan empati dan kedekatan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Saat ini, sikap demikian kurang ditunjukkan oleh banyak pejabat publik. Dengan bersahaja, pemimpin tidak hanya menunjukkan bahwa mereka bagian dari rakyat, tetapi juga mewakili rakyat secara autentik.

Pelantikan presiden di Gedung MPR dan pelantikan para menteri di Istana Negara mungkin akan membuat Bung Hatta mengelus dada. Para istri pejabat pamer kemewahan dan menenteng tas impor dengan harga mahal. Sementara rakyat banyak kena PHK apalagi pelaku UMKM sedang sekarat menghadapi barang-barang murah dari China. Di mana patriotisme? Melayang-layang mencari induk semang baru setelah Bung Hatta lama berpulang: jiwa yang penuh cinta pada rakyat dan bumi Indonesia.*

Penulis: Eva K. Sundari

 

 

Patriotisme Bung Hatta untuk Indonesia Tercinta

Patriotisme Bung Hatta untuk Indonesia Tercinta

Mantan Menteri Lingkungan Hidup itu berbicara seraya menahan tangis di acara pembukaan Sekolah Pemikiran Bung Hatta (SPBH) Angkatan 1 pada 15 Agustus 2024, yang diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) dan Yayasan Hatta bekerjasama dengan Universitas Paramadina. Dengan suara bergetar, Emil Salim mengisahkan Bung Hatta, yang hingga akhir hayatnya menyimpan guntingan gambar sepatu bally buatan Swiss di dompetnya. Bung Hatta sangat mendambakan sepatu itu. Namun keinginan tersebut tidak pernah terwujud hingga ia wafat pada 14 Maret 1980. Padahal, sebagai seorang Wakil Presiden, yang juga pernah menjabat Perdana Menteri di Indonesia, seharusnya ini perkara mudah: membeli sepatu. Atau, bisa saja ia menggunakan pengaruh dan nama besarnya untuk mendapatkan benda idaman tersebut. Tapi Bung Hatta bukanlah penjabat yang ketika memegang jabatan menggunakan segala cara untuk berkuasa dan mengeruk keuntungan. Ia juga bukan orang yang bisa menggunakan kebesaran nama atau popularitas untuk kepentingan diri sendiri dan keluarga. Ia adalah Bung Hatta, seorang patriot sejati yang mengabdikan diri hingga akhir hayatnya untuk bangsa dan negara. Sebagai patriot yang sesungguhnya, cintanya untuk bangsa berpadu kukuh dengan tindakan bakti dan integritas yang tak bisa ditawar-tawar.

Jelas, berbicara tentang Bung Hatta adalah berbicara tentang patriotism—suatu idealisme dan sikap yang di zaman kini telah menjadi barang mahal dan langka. Namun di masa-masa perjuangan kemerdekaan, atau di era awal Indonesia, patriotisme lazim dimiliki oleh para pendiri dan pemimpin bangsa Indonesia, termasuk Mohammad Hatta atau Bung Hatta. Patriotisme sendiri bisa diartikan sebagai kesediaan atau kerelaan berkorban bagi bangsa dan negara. Ini tentu saja dilandasi oleh rasa cinta terhadap Tanah Air. Seorang kawan penulis mengatakan bahwa secara psikologis, patriotisme menyentuh sisi afektif individu terhadap negara. Seorang kawan lain, Sukidi, menegaskan bahwa patriotisme adalah kesediaan berkorban demi bangsa dan negara. Pendeknya, patriotisme adalah kerelaan berkorban, berbakti atau berbuat bagi bangsa dan negara yang dilandasi oleh semangat cinta negeri yang murni, tanpa embel-embel apa pun.

Kecintaan apakah yang selalu ditunjukkan oleh Bung Hatta kepada Indonesia? Salah seorang putri Bung Hatta, Halida Hatta, menjelaskan bahwa Proklamator Indonesia ini berkeinginan agar rakyat Indonesia hidup adil dan bahagia. Just and happy. Ini disampaikannya dalam acara pemutaran film tentang Bung Hatta pada 10 November 2024. Berkaca pada testimoni Halida Hatta, kita memang bisa melihat secara tertulis cita-cita rakyat sejahtera itu tertera nyata dalam Alinea ke-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Di situ disebutkan bahwa tujuan berdirinya bangsa Indonesia di antaranya untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, serta mencerdaskan kehidupan bangsa.

Cinta murni pada negeri seperti yang ditunjukkan Bung Hatta inilah yang kini sedang hilang melayang dari bangsa ini. Sejatinya, cinta negeri sebagai bentuk patriotisme tak terbatas pada ungkapan dan perasaan cinta yang terpendam. Cinta pada negeri adalah berani bersikap dan bertindak untuk melindungi Indonesia. Kedaulatan Indonesia misalnya sekarang ini  banyak diperbincangkan karena dikhawatirkan sedang tergoyahkan atau digoyahkan. Serbuan tenaga kerja asing, semakin tergantungnya kita pada impor pangan, terbukanya Indonesia bagi berbagai macam produk asing yang murah meriah, berlalulalangnya kapal-kapal nelayan asing untuk mencuri ikan Indonesia, serta garis pantai yang bisa terus berubah karena kenaikan tinggi muka air laut adalah beberapa contoh betapa kedaulatan negara bisa tergerus dengan gampang di depan mata rakyat.

Lalu tentang cita-cita memajukan kesejahteraan umum. Apa yang ada dalam pikiran patriotik Bung Hatta saat berpikir keras menuangkan keinginan luhur ini dalam Pasal 33 UUD 1945? Sebagai konseptor pasal ini, kita bisa melihat bagaimana kepedulian dan perhatian Bung Hatta bagi kesejahteraan rakyat. Sebelum diamandemen, Pasal 33 berbunyi sebagai berikut: (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Jelas bahwa pikiran Bung Hatta melalui pasal ini adalah semua upaya dan hasil ekonomi serta segala kekayaan alam di Indonesia adalah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan untuk individu atau segelintir orang saja.

Lalu apakah yang dimaksud dengan kemakmuran itu? Apakah hanya sekadar kaya secara bendawi? Ternyata kemakmuran tidak terbatas pada kekayaan, tapi juga mencakup faktor-faktor lain yang sama pentingnya, misalnya kesejahteraan, kebahagiaan dan kesehatan. Selanjutnya, seperti yang sudah digarisbawahi tadi, bahwa dalam Konstitusi kita kemakmuran adalah untuk seluruh rakyat Indonesia. Namun, jika melihat data dan informasi terkait, kita akan tercengang. Data Oxfam 2024 memperlihatkan bahwa dalam dua dekade terakhir, kesenjangan antara orang terkaya dengan kelompok lain di Indonesia begitu jomplang. Saat ini, empat orang di Indonesia memiliki kekayaan melebihi kekayaan total 100 juta orang termiskin di negeri ini. Indonesia juga tercatat sebagai negara yang peningkatan kesenjangannya lebih cepat dibandingkan negara-negara lain di Asia Tenggara. Bukan itu saja. Indonesia sekarang adalah negara ke-6 dengan tingkat ketimpangan tertinggi di dunia.

Jika kita beralih ke Pasal 34 UUD 1945, yang juga dipikirkan oleh Bung Hatta, pertanyaan menggelitik akan muncul. Siapa sebenarnya yang “dipelihara” oleh negara? Jika rata-rata pertumbuhan ekonomi, yang dalam 10 tahun terakhir berkisar lima persen, disandingkan dengan tingginya tingkat kesenjangan di Indonesia, maka siapa sesungguhnya yang sedang “dipelihara” negara untuk sejahtera dan bahagia? Fakir miskin dan anak-anak terlantar ataukah segelintir orang sangat kaya dan begitu kaya di Indonesia?

Kemudian soal kecerdasan bangsa, yang lagi-lagi dirumuskan oleh para pendiri bangsa dan tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Dengan mempertimbangkan tingkat kesenjangan ekonomi yang masih begitu tinggi, bagaimana persoalan kecerdasan bangsa? Coba kita perhatikan dari beberapa hal saja, yakni tingkat stunting pada anak, angka putus sekolah dan inteligensia.

Tentang stunting, Survei Kesehatan Indonesia (SKI) tahun 2023 menunjukkan bahwa prevalensi stunting nasional masih tergolong tinggi, yakni 21,5%. Sementara data lain menunjukkan bahwa Indonesia berada di urutan ke-27 dari 154 negara dan urutan ke-5 di Asia. Tentu saja ini persoalan yang sangat serius karena stunting tidak hanya memengaruhi kondisi fisik anak, tetapi juga pada perkembangan kognitif dan kinerja jangka panjang.

Terkait angka putus sekolah, seorang psikolog ternama, Seto Mulyadi, menyatakan bahwa jumlah putus sekolah anak banyak terjadi di tingkat sekolah dasar (SD), yakni mencapai 40.632. Ia mengatakan hal ini di suatu acara pendidikan di Jakarta pada 5 Juni 2024. Lebih lanjut Seto menjelaskan bahwa lebih dari 70% penyebab putus sekolah adalah faktor ekonomi. Tentu saja ini memprihatinkan karena jenjang pendidikan dasar merupakan tahap krusial yang sangat berpengaruh pada perkembangan akademis dan pembentukan karakter anak.

Bagaimana halnya dengan tingkat Intelligence Quotient (IQ) atau kecerdasan? Menurut World Population Review 2024, rata-rata IQ orang Indonesia adalah 78,49. Angka ini cukup jauh di bawah rata-rata IQ global, yakni berkisar 85 hingga 115. Dengan skor ini, Indonesia menempati peringkat ke-129 dari 197 negara.

Semua data tersebut menunjukkan bahwa Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah besar untuk dibereskan. Lalu kita harus mulai dari mana untuk membenahinya? Tentu tak bisa dibantah salah satunya adalah dengan melihat lagi cara kita mengelola negara. Perilaku koruptif jelas masih menjadi persoalan besar bagi mereka yang mendapat “amanah” untuk mengurusi negeri. Banyak pejabat yang tanpa malu-malu melakukan korupsi yang menguntungkan diri sendiri atau pun pihak tertentu. Jika pun tak masuk kantong pribadi, berbagai bentuk penyalahgunaan wewenang kerap dilakukan. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa pada tahun 2023 Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia mengalami stagnasi dibandingkan tahun sebelumnya. Indonesia memperoleh skor 34 dan peringkatnya merosot dari 110 menjadi 115.

Seiring maraknya perilaku koruptif, semakin banyak masyarakat yang menganggapnya sebagai hal yang biasa. Banyak yang melihat korupsi kecil (petty corruption) sebagai sesuatu yang permisif. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia tahun 2024 adalah sebesar 3,85 dari skala tertinggi 5. Angka ini merosot dibandingkan tahun 2023, yakni sebesar 3,92. IPAK yang semakin mendekati 0 menunjukkan bahwa masyarakat semakin bersikap permisif terhadap korupsi.  Berbagai catatan lain di luar korupsi, kesenjangan dan kemiskinan juga masih menghantui bangsa ini.

Kembali pada Bung Hatta, apa yang bisa kita pelajari kembali dari beliau sebagai modal membenahi Indonesia? Kita bisa mulai dari gagasan-gagasan Bung Hatta. Ambil contoh, imajinasinya tentang ekonomi yang seharusnya ada di Indonesia, yakni ekonomi yang mensyaratkan dan memberi kesejahteraan bersama bagi semua. Bukan bagi orang per orang atau segelintir belaka. Pengelolaan sumber daya alam seharusnya juga dikelola oleh negara. Bukan dengan kasat mata menjadi aset kekayaan bagi oligarki atau sejenisnya, namun seolah-olah dikendalikan negara.

Berkaca pada Bung Hatta pula, gaya hidup yang beliau lakoni adalah perilaku hidup sederhana dan bersahaja. Bung Hatta juga sosok yang tak bisa berkompromi untuk hal-hal prinsipil. Integritasnya mutlak tak terbantahkan. Dalam acara pemutaran film dan diskusi 10 November 2024 itu, Prof. Sri Edi Swasono menceritakan kesan Romo Mangun Wijaya tentang Bung Hatta, yakni sebagai sosok yang “tak bisa ditundukkan”. Di zaman Kolonial, saat diasingkan ke Boven Digul, Bapak Bangsa ini ditawari tunjangan bulanan 7 gulden jika mau bekerja sama dengan Belanda. Bung Hatta tegas menolak. Maka saat di pengasingan, Bung Hatta dibatasi hanya mendapat bahan pangan seadanya untuk bertahan hidup, seperti beras, minyak dan teh. Integritas dan kesederhanaan Hatta seharusnya tak lagi menjadi barang langka untuk Indonesia yang sudah merdeka hampir 80 tahun (ketika tulisan ini dibuat). Perilaku hidup dan integritasnya layak jadi pengingat dan panutan bagi pengelola pemerintahan sekarang.

Kecerdasan Bung Hatta juga selalu terjaga dengan baik. Sejak muda, beliau terbiasa berpikir untuk negeri ini. Ide-idenya tentang kebangsaan, demokrasi, kerakyatan, ekonomi dan sebagainya dituangkannya dalam ratusan karya tulis. Gagasan Bung Hatta adalah gagasan yang menunjukkan cinta yang murni pada Tanah Air. Cinta yang tak bisa dibeli oleh gulden-gulden Belanda atau rupiah di masa kemerdekaan atau dolar di masa kini. Tak bisa ditukar pula oleh bujuk rayu maupun intimidasi dari pihak kolonial. Ide-ide besarnya tentang bagaimana seharusnya Indonesia ini berjalan, ke arah mana bangsa ini ada dan didirikan, bisa jelas terlihat misalnya pada Pasal 33, Pasal 34 dan beberapa pasal lain di dalam UUD 1945.

Banyak lagi yang bisa digali dari patriotisme Bung Hatta. Yang jelas, cintanya kepada Tanah Air tidak berhenti hanya sampai di gagasan dan tulisan—sampai tahun 2024 LP3ES telah menerbitkan sembilan jilid buku tebal karya Bung Hatta. Jantung Bung Hatta senantiasa berdenyut untuk Indonesia, sejak ia berusia muda—misalnya dikisahkan oleh Sukidi tentang lantangnya Bung Hatta memberi pledoi tentang penderitaan bumiputera akibat kolonialisme Belanda sewaktu usianya baru 25 tahun—hingga ia menutup mata.

Cinta negeri seperti yang ditunjukkan oleh Bung Hatta adalah sesuatu yang sekarang hampir kosong di Indonesia. Begitu mudah kini kita melihat pejabat dan keluarganya berlimpah harta hasil korupsi dan tak malu-malu pamer kekayaan di tengah-tengah kemiskinan banyak orang. Semakin banyak kebijakan yang nyata diperuntukkan bagi segelintir orang, namun dibungkus manis dengan mengatasnamakan rakyat. Maka satu hati, pikiran dan tindakan cinta bagi Indonesia, seperti laku Bung Hatta, mutlak diperlukan untuk membangun Indonesia yang lebih baik: Indonesia yang lebih adil, makmur dan sejahtera bagi semua. Semoga ini diamini oleh Si Bung dari alam sana. Al Fatihah.*

Penulis: Swary Utami Dewi