by lp3es2022 | Aug 23, 2022 | Demokrasi, Politik, Teknologi
Ruang demokrasi modern saat ini merupakan suatu model representasi representation democracy untuk menghadirkan dan mengartikulasikan kepentingan publik yang begitu luas agar direalisasikan dalam bentuk kebijakan, namun dalam kenyataannya yang terjadi pada konteks saat ini, representasi demokrasi tidak berjalan maksimal karena posisi wakil rakyat yang menjadi saluran representasi publik menurut (Soeseno :2013) antara ada dan tiada being present and yet not present.
Ketidakefektifan tersebut memberikan dampak terhadap tidak berfungsinya saluran saluran representatif terhadap ruang publik. Pada akhirnya kemudian, ruang publik berikut pula representasi politik tidak berjalan efektif dan efisien dalam mengartikulasikan kepentingan publik untuk dieksekusi dalam kebijakan. Oleh karenanya pada saat ruang publik sebagai pilar utama dalam berjalannya demokrasi secara prosedural tidak berjalan dengan baik. Maka kebutuhan untuk membentuk saluran representasi maupun ruang publik baru menjadi sangat urgent dan signifikan dalam masyarakat Indonesia.
Dengan begitu ketika penetrasi internet sudah sedemikian masif dalam masyarakat kita dewasa ini, maka saat itulah kemudian internet ditempatkan sebagai ruang publik dan saluran representasi baru publik yang disebut sebagai ruang publik digital atau cyberspace. Kemunculan cyberspace melalui sosial media ini menarik untuk dibahas karena mampu mentransformasi ruang publik dalam bentuk digital. Dibandingkan dengan ruang publik, cyberspace mampu menarik perhatian bagi setiap segmen publik untuk komunikasi dan berinteraksi.
Terlebih dalam beberapa tahun terakhir , indonesia mengalami kondisi penyempitan ruang sipil (shrinking civic spaces) terkait kebebasan berpendapat dan berekspresi. Freedom house mencatat bahwa indeks demokrasi di Indonesia mengalami penurunan ditahun 2021 skor indeks demokrasi di Indonesia turun kembali menjadi 59, yang menempatkan Indonesia pada kategori bebas sebagian (partly free).Gejala menyempitnya ruang sipil ini telah banyak dirasakan di kalangan masyarakat sipil, ditandai dengan semakin banyaknya kasus – kasus kriminalisasi terhadap aktor sipil, menggunakan pasal-pasal karet, misalnya dalam UU ITE, yang mengancam kebebasan berpendapat dan berekspresi. Selain itu, para aktor sipil juga kerap menerima berbagai bentuk ancaman, baik fisik maupun non-fisik. Di internet, bentuk-bentuk gangguan berupa doxing, perundungan dan ujaran kebencian, telah lazim diterima oleh aktor sipil.
Untuk itu dalam konteks ini aktivisme digital pada akhirnya bergerak menuju sebuah gerakan sosial untuk mengembalikan marwah rakyat yang mengutamakan nilai-nilai demokrasi. Seperti yang dirujuk pada konsep Giddens (1993 : 642) mendefinisikan gerakan sosial sebagai bentuk upaya kolektif untuk mengejar suatu kepentingan bersama, atau mencapai suatu tujuan bersama melalui tindakan kolektif (collective action) diluar lingkup lembaga-lembaga mapan. Hal ini juga diperjelas oleh Wasisto Pengamat Politik Brin dalam webinar Scolarium LP3ES.
“Dalam perspektif teoritis, aktivisme ini dibagi dalam dua hal yakni sebagai gerakan moral yaitu bagaimana teman teman aktivis berkembang nantinya menjadi kelompok kepentingan yaitu mengembalikan lagi marwah demos sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Kedua tentang gerakan politik yang berkembang sebagai semacam kelompok penekan yaitu upaya melakukan perubahan secara sistemik” Ujar Wasisto dalam Forum Scholarium LP3ES 23/08/2022.
by lp3es2022 | Jul 21, 2022 | Demokrasi, Hukum dan HAM, Teknologi
Di zaman yang kian dinamis seperti sekarang ini, manusia membutuhkan pemikiran dan gagasan yang dapat menembus zaman dan waktu dalam membebaskan manusia pada dunia yang absolutisme dan dogmatis. Era revolusi industri 4.0 saat ini yang sudah bergerak ke arah society 5.0 sudah barang tentu memiliki kehidupan yang jauh lebih problematis. Revolusi pengetahuan ke arah yang lebih baik mesti dilakukan untuk menghidupkan kembali kanal-kanal yang redup akibat pertarungan narasi yang justru menguatkan kontroversi dari pada untuk menyelesaikan suatu masalah. Padahal persoalan-persoalan bangsa saat ini jauh lebih serius untuk diselesaikan dari pada hanyut pada hiruk pikuk perang narasi yang tidak kunjung memberikan alternatif jawaban.
Media Sosial dan Aktivisme
Dalam sekitar satu dekade terakhir kebanyakan masyarakat Indonesia begitu antusias mengadopsi berbagai platform digital di media sosial dan aplikasi pesan instan. Penetrasi teknologi yang begitu pesat kerap kali dibungkus dalam narasi techno-utapianism yang terkait dengan harapan pertumbuhan ekonomi. Namun pemanfaatan platform media sosial juga mesti dilihat pada konteks penguatan demokrasi dan perubahan sosial dimasyarakat yang kerap kali menjadi tantangan Indonesia kedepan.
Oleh karenanya istilah aktivisme digital atau peran masyarakat dalam menggunakan teknologi digital dalam berbagai gerakan sosial di masyarakat khususnya di Indonesia menjadi penting untuk diamati. Hal ini juga terkait dengan algoritma yang mendasari bagaimana media sosial bekerja, sehingga pelaku aktivisme digital dapat terlihat / visible dan “populer” pada masyarakat luas dengan tanpa menghilangkan esesnsi dan substansi dari aktivisme tersebut. Dengan begitu kita dapat membandingkan bagaimana aktivisme itu bekerja dari waktu ke waktu dengan berbagai perubahan teknologi yang massif, misalnya pada aktivisme tahun 66, 98 dan hingga masa kini.
Ruang Publik Digital
Untuk itu penting melihat ekosistem aktivisme secara komprehensif dan holistis dengan tidak hanya memperlihatkan faktor teknologi, namun faktor kondisi sosial dan budaya serta konteks historis dari aktivisme dan berbagai gerakan sosial yang muncul dan berkembang dimasyarakat. Dalam konteks ini rasionalitas masyarakat dalam bermedia sosial mestinya ditingkatkan agar tidak terjadinya perdebatan publik yang emosional dan menuju kepada irasionalitas.
Menurut Habermas, ruang publik atau yang disebut sebagai public sphere, harusnya dapat meningkatkan diskursus dimasyarakat—namun dalam kenyataannya di Indonesia malah menimbulkan emosional yang mendalam diantara kelompok masyarakat dan menimbulkan polarisasi yang cukup tajam. Menurut Ubedillah Badrun yang merupakan dosen UNJ sekaligus aktivis 98 beliau mengatakan :
“ Masyarakat kita sudah mengalami irasionalitas didalam digital public sphere itu, nah pr kita bagaimana menggiring netizen itu menjadi rasional, dengan menumbuhkan rasionalitas maka diskursus menjadi lebih hidup dan isu isu publik harus menjadi bahan perdebatan, bukan bahan caci maki, perlu ada edukasi digital”, ujarnya dalam podcast LP3ES
Oleh karenanya dibutuhkan kembali pemikiran yang rasional di era digital saat ini agar perdebatan publik menjadi semakin berisi dalam memberikan edukasi kepada masyarakat. Dalam buku Nestapa Demokrasi : Dimasa Pandemi, Refleksi 2021 Outlook 2021 dijelaskan bahwa semakin banyak akun –akun anonim (Buzzers) dan bahkan akun-akun robot (bots) yang justru lebih mengejar kuantitas semata untuk memadati ruang publik ketimbang bobot argumentasi.[1]
Dampak RKUHP
Apalagi saat ini perdebatan publik mengenai Rancangan UU KUHP yang masih menuai pro dan kontra. Banyak akademisi menilai bahwa RKHUP ini berpotensi digunakan untuk mengkriminalisasi para aktivis. Dalam webinar LP3ES Milda Istiqomah peneliti LP3ES mengatakan bahwa :
“Mengapa RKUHP ini masih berpotensi mengancam demokrasi? Mengapa saya masih menggunakan kata berpotensi karena harapannya RKUHP ini tidak mengancam demokrasi. Karena sudah banyak pakar hukum dan politik yang mengatakan bahwa rezim ini sudah beranjak ke sistem otoriter. Apakah RKUHP ini akan dijadikan alat untuk melanggengkan kekuasaan? Inilah yang harus kita jawab bersama.”
Terlebih juga alih-alih mendemokratiskan hukum pidana, RKUHP disinyalir ini mengancam kebebasan dasar & HAM. RKUHP lebih digunakan untuk melindungi kepentingan politik negara dan kelompok masyarakat ketimbang mencari keseimbangannya dengan kebebasan sipil dan hak-hak individu.
Jumhur Hidayat yang merupakan aktivis dan penulis buku Bumi Putera Menggugat juga mengatakan bahwa UU yang berkaitan langsung dengan kebebasan sipil dan politik ini mestinya harus segera dicabut seperti misalnya yang tercantum Peraturan Hukum Pidana tahun 1946, pasal-pasal dalam KUHP yang terkait dengan penghinaan terhadap penguasa atau badan umum dan pasal penghasutan, serta pasal-pasal ujaran kebencian (hate speech) dan pencemaran nama baik dalam dalam UU ITE.
Menurutnya Setidak-tidaknya pasal-pasal yang karet tersebut tidak lagi digunakan untuk menjerat pemikran kritis dari kalangan masyarakat sipil dan politik dalam hal ini adalah yang beroposisi dengan penguasa. Siapapun yang berkuasa baik itu pada cabang eksekutif maupun legislatif bertanggung jawab untuk segera mencabut atau menghapuskan atau setidak-tidaknya membuat aturan turunannya sehingga tidak bisa lagi menjerat masyarakat sipil dan politik yang mengritik atau bahkan mengecam pemerintah yang berkuasa.
Gerakan Sosial Saat ini
Meskipun saat ini perlawanan masyarakat sipil masih lantang bersuara untuk menolak beberapa pasal yang ada di RKHUP, baik akademisi kritis yang berperan sebagai intelektual publik sebagai public opinion leader dan mahasiswa –mahasiswa kritis yang bersedia turun kejalan, namun perlawanan tersebut selalu dilemahkan oleh para oligarki. Misalnya pasukan siber yang berhasil mengalahkan intelektual organik di ruang digital publik. Kampus mengalami normalisasi seperti zaman orde baru, demonstrasi dihadapi dengan represi.
Selain itu juga permasalahan gerakan sosial saat ini adalah perlawanan yang dilakukan masih terfragmentasi dan tidak cukup terkonsolidasi. Untuk itu perlu membangun sinergi dikalangan elemen masyarakat sipil ,aktivis,akademisi, agamawan dan jurnalis agar tidak lagi Indonesia terpelosok ke jurang otoritarianisme.***
[1] Wijayanto et al (2021). NESTAPA DEMOKRASI DI MASA PANDEMI: REFLEKSI 2020, OUTLOOK 2021, 205.