Perekonomian dunia diprediksi akan diterpa resesi ekonomi mulai tahun 2023. Inflasi yang tinggi, krisis energi dan pangan, hingga konflik geopolitik Ukraina dan Rusia membuat ekonomi dunia berpotensi terjerumus dalam jurang berbahaya. Respon dari urgensi tersebut LP3ES menyelenggarakan Scholarium pada Jumat, 4 November 2022 di aula kantor LP3ES. Bersama dengan narasumber ahli Zaenal Muttaqin dan Fahmi Wibawa, Scholarium yang juga dihadiri oleh Ikatan Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Kuningan (IPPMK) ini mengusung tajuk “Resesi Ekonomi”.
Waspada terhadap Ketergantungan Impor
Menurut Penuturan Fahmi Wibawa, Direktur Eksekutif LP3ES, masalah resesi yang mulai ramai diperbincangkan ini penting untuk diketahui penyebabnya. Suatu negara bisa dikatakan resesi bila terjadi penurunan kapasitas kegiatan ekonomi secara menyeluruh. “Kegiatan ekonomi yang terus menerus mengalami krisis hingga pertumbuhan ekonomi sulit kembali naik, ini yang disebut sebagai resesi.”
Namun pertanyaan perihal situasi negara kita yang apakah tengah menghadapi atau mengalami krisis ini yang menurutnya penting dicermati. Cara mengenali situasi resesi ekonomi bisa diketahui dari kehidupan sehari-hari yang terjadi di lingkungan kita. Resesi ditandai dengan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok, penurunan daya beli masyarakat, dan kelangkaan komoditas barang dan jasa. Kalau situasi tersebut terjadi secara akumulatif maka negara sedang mengalami resesi ekonomi. Sebaliknya, bila sirkulasi kegiatan ekonomi masih berjalan secara stabil dan dapat dikendalikan, perekonomian negara masih tergolong aman dari resesi.
Resesi ekonomi global ditandai dengan penurunan kegiatan ekonomi di sebagian besar negara, banyak negara yang terkena dampak akibat perekonomian saling terhubung dan menggantungkan. “Misalnya konflik geopolitik antara Rusia dan Ukraina menimbulkan ketersediaan minyak dunia mengalami penurunan atau kelangkaan. Ini terjadi karena pasar minyak dunia terganggu akibat harga-harga komoditas yang lain naik secara meroket,” ucapnya.
Sejumlah faktor yang menghambat pertumbuhan ekonomi di sejumlah negara menyebabkan lonjakan inflasi yang tinggi di sejumlah negara di dunia. Di Eropa kebutuhan energi yang besar sementara pasokan yang tidak sebanding dengan permintaan akhirnya memicu terjadinya inflasi. “Resesi ekonomi yang terjadi di negara-negara Eropa menular ke berbagai negara di Amerika dan Asia. Ini juga menyebabkan ketersediaan valuta asing menjadi menurun akibat terhambatnya transaksi perdagangan internasional,” ungkap Fahmi.
Resesi ekonomi yang banyak menghantui negara di dunia sesungguhnya akan memberikan dampak bagi perekonomian dalam negeri, akan tetapi yang menjadi tolak ukur adalah seberapa besar pengaruh dari persoalan tersebut. Dampak resesi ekonomi ditentukan dengan tingkat ketergantungan Indonesia terhadap barang-barang impor. Mekanisme perdagangan ekspor dan impor beroperasi melalui valuta asing sebagai alat pembayaran yang sah dan diakui dalam perdagangan internasional.
Ketergantungan terhadap impor yang lebih besar dibandingkan dengan nilai ekspor akan menguras ketersediaan valuta asing Indonesia. “Jumlah valuta asing Indonesia mencapai 164 miliar US Dollar (US$), dengan nilai sebesar ini Indonesia masih mampu melakukan impor dalam kurun waktu 5-6 bulan kedepan. Artinya sudah cukup aman untuk mampu membuat kita survive dari tekanan resesi global.”
Melihat keadaan saat ini, Fahmi Wibawa cukup optimis Indonesia bisa terhindar dari ancaman resesi global. Namun dengan catatan mengurangi ketergantungan terhadap impor minyak dan bahan pangan seperti kedelai dan gandum, serta memastikan tingkat inflasi yang terkendali.
“Tahun 2023 banyak pengamat dan pemerhati ekonomi yang memprediksi pertumbuhan ekonomi indonesia tumbuh di angka 4-5%. Tentu dengan catatan dua komoditas impor (energi dan pangan) terkendali. Kalau impor energi dan pangan mengambil porsi besar ketersediaan valuta asing, maka kita akan terkena dampak dari resesi global. Kedepannya kita perlu menjaga diversifikasi energi dan pangan kita agar pertumbuhan ekonomi tersebut dapat tercapai,” pungkasnya.
Perkuat Kemandirian Ekonomi Lokal
Sementara Zaenal Muttaqin, peneliti LP3ES, menyorot gejala resesi ekonomi berdasarkan output perekonomian yang dapat dihasilkan oleh suatu negara. Dalam hal ini, mengukur seberapa besar suatu ekonomi menghasilkan barang dan jasa. Output maksimal yang dapat dihasilkan negara menggunakan sumber daya ekonomi yang ada saat itu diistilahkan sebagai PDB Potensial. Sedangkan PDB riil merujuk pada nilai aktual output yang diproduksi dalam satu periode (satu tahun) mengacu pada persentase pertumbuhan ekonomi.
“PDB riil ini bisa di atas, di bawah, atau tepat pada PDB potensial. Perbedaan nilai antara PDB riil aktual dan PDB potensial kita sebut sebagai kesenjangan output (output gap). Jika PDB riil aktual berada di atas PDB potensial, kesenjangan output positif. Itu menunjukkan bahwa perekonomian sedang berproduksi di atas tingkat maksimumnya. Sementara itu, jika PDB riil di bawah PDB potensial, kesenjangan output negatif disebut sebagai kesenjangan deflasioner (deflationary gap). Situasi semacam itu biasanya terjadi selama kontraksi atau resesi ekonomi,” jelas dosen Fakultas Ekonomi Bisnis UIN Jakarta ini.
Ketika inflasi mengalami kenaikan dan memicu resesi ekonomi, maka perbankan melalui kebijakan moneternya akan menaikkan suku bunga, situasi ini akan menarik investor untuk melakukan investasi. Harapannya masyarakat juga akan memilih menempatkan uangnya di bank dibandingkan menghabiskannya untuk konsumsi. Imbasnya, peredaran uang berkurang dan permintaan terhadap barang menurun. Saat permintaan barang melandai, harga akan cenderung merosot sehingga tingkat inflasi bisa menurun.
Berkaca pada situasi ekonomi yang sekarang ini terjadi, secara matematis resesi global menurutnya tidak menjadi ancaman yang serius. Pasalnya nilai PDB masih cukup besar sebagai modal ekonomi untuk menghadapi krisis global ini. “Struktur PDB kita hanya 20% nya yang dipengaruhi oleh kemungkinan dampak dari resesi global. Tidak akan sampai pada kemungkinan terburuk, diprediksi hanya akan mengalami kelambatan saja.” Menurutnya jumlah produksi Indonesia yang besar juga turut membantu di kala dunia jatuh dalam jerat resesi. Indonesia juga memiliki keuntungan dari jumlah populasi penduduk yang besar, menjadi pasar potensial bagi hasil produksi lokal.
“Kalau sebagian besar produktif ini mendorong jumlah produksi dan konsumsi yang stabil, peningkatan PDB akan terjadi. Indonesia diprediksi selamat, karena produksi tinggi, populasi tinggi. Maka daya beli dari hasil produksi kemungkinan juga tinggi, sehingga tidak akan terlalu terkoneksi dengan pasar internasional,” tandasnya
Maka kunci dari menghindari resesi global menurutnya kemandirian ekonomi lokal yang perlu diperkuat. Perekonomian lokal berperan menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Tenaga kerja berdaya dan memperoleh penghasilan, sementara laju produksi juga akan meningkat seiring munculnya benih-benih wirausaha yang produktif dari kalangan masyarakat. Kendati demikian, menurut Zaenal penguatan ekonomi lokal masih kurang cerdas dalam mengenali potensi daerahnya sendiri, dan masih kurangnya tenaga yang profesional dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan ekonomi daerah.
“Banyak kemandirian lokal yang kita punyai itu malah milik orang lain. Penikmat utamanya orang luar. Daerah harus memiliki kendali kuat agar aktor-aktor utama penggerak perekonomian berasal dari warga lokal,” tutupnya.
Kuatnya daya tahan usaha kecil dan menengah dalam menghadapi badai krisis ekonomi dan moneter mendesak munculnya isu penguatan ekonomi rakyat. Sebagai usaha yang paling berpengaruh memberikan kontribusi dalam memenuhi keperluan rakyat banyak, sudah saatnya mengedepankan transformasi perekonomian nasional yang berbasis usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi sebagai tulang punggung perekonomian bangsa.
Penulis: Yoga Maulana (Internship LP3ES)
Universitas Negeri Jakarta.