Quick count atau hitung cepat masih terus menjadi pembicaraan hangat dalam hari-hari ini. Setelah penghitungan suara di TPS pada Pemilu Serentak 17 April 2019 selesai, sejumlah lembaga merilis hasil hitung cepat mengunggulkan pasangan Jokowi-Ma’ruf atas Prabowo-Sandi di kisaran angka 55 berbanding 45 persen. Hasil hitung cepat yang dipublikasikan terutama melalui stasiun-stasiun TV ini mendapat respons publik sangat luas: pro dan kontra.
Bagi yang pro, mereka percaya hitung cepat dapat diandalkan dan valid sebagai cara untuk mengetahui hasil pemilu –dalam hal ini pilpres, dengan cepat. Sementara bagi penentang, mereka beranggapan hitung cepat dinilai tendensius karena menggiring opini publik untuk memenangkan pasangan capres/cawapres tertentu. Bahkan, tuduhan mereka sangat serius ditujukan kepada penyelenggara pemilu, hitungan nyatanya (real count) “dimirip-miripkan” agar sesuai rilis hasil hitung cepat.
Ini bukanlah kali pertama hasil hitung cepat pilpres menjadi perdebatan panas yang menguras energi dan pikiran masyarakat. Sebelumnya, pada Pemilu 2014, bahkan “wajah” hitung cepat jauh lebih buruk lagi. Hasil hitung cepat menjadi pangkal silang sengkarut karena hasilnya berkebalikan. Sejumlah lembaga seperti Puskaptis, IRC, LSN, dan JSI memenangkan pasangan Prabowo-Hatta dengan angka sekitar 50-52 % berbanding 47-49 %.
Sebaliknya lembaga-lembaga lain seperti Populi Center, CSIS-Cyrus, Litbang Kompas, RRI, SMRC, Indikator Politik, Poll-Tracking Institute, dan LSI hasil hitungannya memenangkan pasangan Jokowi-JK, juga pada kisaran angka yang kurang lebih sama: 50-53 persen berbanding 46-48 persen.
Setelah KPU mengumumkan hasilnya sebulan kemudian, barulah kita tahu mana lembaga hitung cepat yang benar-benar dan mana yang abal-abal. Lembaga-lembaga seperti Puskaptis, IRC, LSN, dan JSI bukan saja selisih hasil dengan hitungan nyata KPU relatif besar (lebih dari 3 persen poin), tetapi hasil hitung cepat mereka juga nyata-nyata salah karena memprediksi hasil yang berkebalikan karena memenangkan Prabowo-Hatta.
Hitung cepat adalah metode ilmiah yang menyajikan proyeksi hasil Pemilu dengan sangat cepat menggunakan TPS sampel. Dalam konteks Pemilu 2019, meskipun masih harus menunggu pengumuman resmi KPU, hasil hitung cepat seyogianya dapat diterima sebagai produk ilmiah. Berdasarkan pengalaman dari pemilu ke pemilu –baik pemilu nasional maupun pemilukada– hitung cepat terbukti dapat memproyeksi hasil dengan sangat akurat.
Namun, mengapa hasil hitung cepat susah diterima dan mendapat tentangan bahkan penolakan oleh sebagian masyarakat?
Bagi para penentang, selain dianggap bagian dari penggiringan opini, mereka juga heran dengan hasil hitung cepat yang disajikan melalui berbagai TV karena angkanya berubah-ubah. Pada satu waktu pasangan Jokowi-Ma’ruf unggul, pada waktu yang lain pasangan Prabowo-Sandi menyalip secara bergantian. Meskipun secara statistik ini dapat dijelaskan, tak mudah bagi publik untuk menerima penjelasan ini begitu saja.
Di berbagai platform media sosial beredar tampilan grafik yang menunjukkan perolehan angka kedua pasang capres/cawapres yang aneh karena terbalik-balik dan berubah dengan begitu cepat. Entah asli maupun versi editan, grafik hasil hitung cepat beredar di mana-mana, menambah prasangka publik data hitung cepat dapat diubah-ubah semaunya.
Publik yang menentang juga mempertanyakan akomodasi hitung cepat dengan praktik kecurangan dan pelanggaran pemilu yang diduga terjadi di berbagai tempat. Kasus-kasus seperti surat suara tercoblos, kotak suara yang hilang, TPS yang buka terlambat yang dianggap sebagai pelanggaran/kecurangan Pemilu oleh kubu penantang, seolah “menampar angin” karena hasil hitung cepat seolah tidak ada kaitan sama sekali terhadap segi-segi kualitas penyelenggaraan Pemilu. Terlebih dengan hasil yang mengunggulkan petahana dibanding penantang, hal ini membuat gaung penolakan terhadap hasil hitung cepat semakin kencang.
Situasi yang berkembang ini menyembulkan pentingnya refleksi kritis terhadap pelaksanaan hitung cepat. Harus diakui, hitung cepat telah memberikan sumbangan penting bagi pelaksanaan demokrasi elektoral di Indonesia. Untuk itu, menjaganya agar tetap berfungsi “mulia” sangat penting dilakukan, antara lain dengan mengedepankan imparsialitas lembaga, menegakkan prinsip rilis datanya, dan tetap menjadikannya sebagai bagian dari alat pengawasan pemilu; tidak sekadar adu cepat.
Objektivitas dan Imparsialitas
Karena hitung cepat adalah kegiatan ilmiah, maka objektivitas dan imparsialitas menjadi syarat penting. Sungguhpun sebuah lembaga atau aktivisnya mungkin memiliki preferensi pilihan terhadap partai politik atau pasangan capres/cawapres tertentu, tidak boleh mengurangi objektivitasnya dalam melaksanakan hitung cepat. Berimpit dengan ini, lembaga hitung cepat juga harus menjaga imparsialitas dengan tidak memihak atau bahkan menjadi bagian dari partai politik atau kandidat tertentu yang sedang berkompetisi dalam pemilu.
Dewasa ini, lembaga survei mengalami tantangan ketidakpercayaan publik yang besar. Riuh-rendah publikasi hasil survei menjelang pemilu yang hasilnya tak berkesesuaian, aktivis lembaga survei yang tak berjarak dengan kekuasaan –begitu lekat dalam ingatan publik. Masyarakat mempertanyakan kredibilitas lembaga pelaksana hitung cepat karena perannya tak semata-mata sebagai lembaga survei, tetapi juga sekaligus sebagai konsultan politik untuk pemenangan kandidat.
Survei dan pemenangan kandidat adalah dua fungsi yang sama sekali berbeda. Survei dimaksudkan untuk memproduksi pengetahuan untuk konsumsi publik, sementara konsultan politik bertujuan untuk memenangkan kandidat. Jika peran ini bercampur, sulit bagi publik untuk menerima bahwa lembaga survei benar-benar objektif dan independen. Meskipun sebenarnya lembaga survei ketika melakukan hitung cepat mempertaruhkan reputasinya untuk bersikap seobjektif mungkin, karena tahu bersikap parsial dan tidak objektif dalam penyelenggaraan hitung cepat berarti bunuh diri bagi mereka.
Tetapi, sekali lagi, mereka telanjur berhadapan dengan anggapan publik bahwa lembaga survei tidak netral karena bercampurnya fungsi pollster dan konsultan pemenangan politik. Sehingga hasil hitung cepat yang seyogianya valid, tidak mudah diterima masyarakat karena konteks semacam ini. Terlebih oleh mereka yang “jagoannya” diprediksi kalah oleh hasil hitung cepat.
Sekali dan Final
Tidak banyak yang tahu, hitung cepat menganut prinsip yang ketat dalam hal publikasi guna menghindari kesimpangsiuran hasil. Prinsip ini disebut “once finalannouncement.” Mengacu pada prinsip ini, data hasil hitung cepat seyogianya diumumkan hanya sekali dan bersifat final. Seyogianya, hasil hitung cepat dirilis ke publik menunggu data benar-benar data stabil (data masuk di atas 80%), tidak berubah-ubah lagi. Ini penting untuk memberikan patokan yang jelas hasil hitung cepat sebuah lembaga yang diacu publik bersifat tunggal karena diumumkan hanya sekali dan final.
Dalam sejarahnya, hitung cepat pertama kali oleh LP3ES pada Pemilu 2004 benar-benar memperhatikan prinsip ini. Selain untuk menghindari kesimpangsiuran, prinsip ini juga diterapkan guna menjaga kehati-hatian ini.
Tampaknya, prinsip “diumumkan sekali dan final” ini relevan dikemukakan kembali dewasa ini mengingat kegaduhan publik yang ditimbulkan oleh hitung cepat akibat data yang simpang siur. Bagaimana tidak simpang siur karena data telah dirilis bahkan sejak 0% dari data yang masuk? Melihat siaran hitung cepat di TV, tak ubahnya menyaksikan drama: perolehan suara capres/cawapres susul-menyusul, ada data yang terkoreksi, grafik yang berubah, dan sebagainya. Ujung-ujungnya data hasil hitung cepat menjadi “debat kusir” yang tak berkesudahan karena masing-masing memiliki basis data yang berbeda-beda. Akibatnya, validitas hasil hitung cepat pun dipertanyakan.
Di satu sisi, kita perlu mengapresiasi pelaksanaan hitung cepat dengan segala inovasinya. Namun, harus disadari, “perkawinan” antara lembaga hitung cepat dengan stasiun-stasiun TV sebagai penyiar utama rilis hasil hitung cepat ini berimplikasi terhadap kaidah rilis “once final announcement” sebagai bagian dari pakem yang penting. Dan, kita telah sama-sama merasakan kegaduhan politik yang luar biasa akibat publikasi hasil hitung cepat yang keluar dari pakem ini.
Mekanisme Pemantauan
Publik juga memberikan catatan terhadap hitung cepat karena luput mengamati segi-segi kualitas pelaksanaan pemilu. Hitung cepat benar-benar menjadi sekadar “adu cepat”. Padahal, sejatinya hitung cepat adalah juga mekanisme pemantauan pemilu. Dengan hitung cepat, hasil pemilu dapat diproyeksi sehingga publik dapat mengontrol proses perhitungan suara berjenjang yang sarat potensi kecurangan. Lebih dari itu, hitung cepat juga dapat menjadi instrumen pemantauan apakah pada TPS-TPS sampel terdapat indikasi pelanggaran atau kecurangan pada saat proses pemungutan dan perhitungan suara berlangsung.
Di TPS-TPS sampel, relawan hitung cepat dapat mengamati apakah ada surat suara yang tercoblos sebelum digunakan? Apakah TPS buka dan tutup tepat waktu? Apakah kualitas tinta sesuai standar? Apakah ada yang terhambat menggunakan hak pilih? Apakah PPS menjalankan fungsinya dengan baik dan netral? Dan sebagainya. Data-data amatan ini penting untuk menilai kualitas pelaksanaan pemilu, sehingga segi-segi kualitas penyelenggaraan sebagaimana yang ramai dibincangkan oleh publik sekarang ini dapat dikonfirmasi melalui hitung cepat.
Dewasa ini, hitung cepat seperti tercerabut dari esensinya sebagai bagian dari pengawasan pemilu, dan hanya berorentasi pada “sekadar adu cepat”. Hitung cepat seyogianya dapat pula mengkonfirmasi kualitas pelaksanaan pemilu –khususnya pelaksanaan pemungutan suara di TPS-TPS. Jika ada berbagai dugaan kecurangan, hitung cepat seharusnya dapat secara indikatif mengkonfirmasi terjadinya kecurangan-kecurangan ini.
Kita mengapresiasi pelaksanaan hitung cepat dalam pemilu. Ini adalah sumbangan penting pengetahuan dan metoda ilmiah dalam pesta demokrasi lima tahunan di Indonesia. Tetapi, sumbangan penting harus dirawat bersama-sama. Kita mungkin mengharapkan agar publik dapat bersikap lebih dewasa dalam menyikapi hitung cepat, namun upaya memperbaiki diri dari segi-segi teknis pelaksanaan hitung cepat juga tak kalah penting. Jika tidak, hitung cepat dan lembaga pelaksananya akan selalu menjadi pangkal sengkarut dari pemilu ke pemilu. Ini artinya, kita tidak “naik kelas” karena mengulang perdebatan yang sama dari waktu ke waktu setiap pesta demokrasi digelar. Ini masalah akut yang penting untuk dipikirkan dan dicari jalan keluarnya.
Fajar Nursahid Direktur Eksekutif LP3ES, Team Leader Quick Count LP3ES pada Pemilu 2009